BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk hidup yang sangat istimewa, karena manusia berbeda dengan makhluk yang lainnya. Manusia diberi akal dan pikiran untuk bertindak sesuai dengan etika dan nilai-nilai moral yang berlaku sesuai dengan kehendaknya, lingkungan, dan ajaran agama yang di anutnya. Nilai-nilai dan norma-norma yang memberikan arah dan makna bagi manusia dalam bertindak ialah agama.
Seorang sosiolog agama bernama Elizabeth K. Nottingham berpendapat bahwa agama bukan sesuatu yang dapat dipahami melalui definisi melainkan melalui deskripsi (penggambaran). Tak ada satu pun definisi tentang agama yang benar -benar memuaskan.
Menurut gambara Elizabeth K. Nottingham, agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat dimana-mana”, dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian tertuju keada adanya suatu dunia yang tak dapat dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia (Elizabeth K. Nottingham, 1985: 3-4).
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat Adikordrati (Supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang per orang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian secara psikologis, agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif ekstrinsik (luar diri). Agama memang unik, sehingga sulit didefinisikan secara tepat dan memuaskan.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama
Secara Umum
Beberapa acuan yang berkaitan dengan
kata “Agama” pada umumnya; berdasarkan Sansekerta yang menunjukkan adanya
keyakinan manusia berdasarkan Wahyu Illahi dari kata A-GAM-A, awalan A berarti
“tidak” dan GAM berarti “pergi atau berjalan, sedangkan akhiran A bersifat
menguatkan yang kekal, dengan demikian “agama: berarti pedoman hidup yang
kekal”.
Agama
Sanskerta, a = tidak; gama = kacau artinya tidak kacau; atau adanya keteraturan
dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Religio dari religere,
Latin artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama
adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya
dengan Ilahi.
Dari
sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam
diri orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu [yang supra natural]
dan berfungsi agar dirinya dan masyarakat keselamatan. Agama merupakan suatu
sistem sosial yang dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia
[pendiri atau pengajar utama agama] untuk berbhakti dan menyembah Ilahi. Sistem
sosial tersebut dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung
datang dari Ilahi agar manusia mentaatinya.
1.
Agama ialah sikon manusia yang percaya adanya
tuhan, dewa, Ilahi, dan manusia yang percaya tersebut, menyembah serta
berbhakti kepada-Nya, serta melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban
yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
2.
Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan
manusia terhadap sesuatu Yang Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan
serta alam semesta; cara-cara tersebut bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan
kehidupan masyarakat yang menganutnya atau penganutnya.
3.
Agama ialah percaya adanya
tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum-Nya. Hukum-hukum tuhan tersebut diwahyukan kepada manusia melalui
utusan-utusan-Nya; utusan-utusan itu adalah orang-orang yang dipilih secara
khusus oleh tuhan sebagai pembawa agama. Agama dan semua
peraturan serta hukum-hukum keagamaan diturunkan tuhan kepada manusia untuk
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Jadi, secara umum, agama adalah upaya
manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi yang dipercayai dapat memberi
keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia; upaya
tersebut dilakukan dengan berbagai ritus secara pribadi dan bersama yang
ditujukan kepada Ilahi.[1]
B.
Fungsi Agama Dalam
Kehidupan Individu
1. Agama Sebagai Sumber Nilai dalam Menjaga Kesusilaan
Agama dalam kehidupan individu berfungsi
sebagai sesuatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum,
normr-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku
agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama
memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai
bentuk ciri khas.[2]
Menurut
Mc. Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini
merupakan sesuatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem nilai ini
dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Perangkat sistem nilai ini
dipengaruhi oleh keluarga, teman, institusi, pendidikan, dan masyarakat (Meredith
B. Mc. Guire, 1981: 24).[3]
Selanjutnya,
tulisan Mc. Guire,
berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seorang dari hasil belajar dan sosialisasi
tadi meresap dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang
menyatu dalam membentuk identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat dalam
kehidupan sehari-hari,
bagaimana sikap, penampilan maupun untuk tujuan apa yang turut berpartisipasi
dalam suatu kegiatan tertentu. Menurut pandangan Mc. Guire, dalam membentuk
sistem nilai dalam diri individu adalah agama.[4]
Menurut
Mc. Guire system nilai yang
berdasarkan agama dapat memberi pedoman bagi individu dan masyarakat. Sistem
nilai tersebut dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam kehidupan individu
dan masyarakat.[5]
Elizabeth K. Nottingham, mengatakan bahwa
setiap individu tumbuh menjadi dewasa memerlukan suatu system nilai sebagai
tuntunan umum untuk mengarahkan aktivitas dalam masyarakat yang berfungsi
sebagai tujuan akhir pengembagan kepribadianya. Dengan mempedomani
system nilai maka kesusilaan akan terjaga namun nilai tersebut tidak akan
berfungsi tanpa melalui pendidikan.[6]
Dalam pendidikan Islam ada tiga bentuk proses pedidikan yaitu:
a.
Transfer of knowledge; ilmu
pengetahuan agama dimiliki pendidik dipindahkan ( transfer ) kepada peserta
didik.
b.
Transformation of
knowledge; ilmu pengetahuan agama yang diberikan oleh pendidik dikembangkan
( Transformation ) oleh peserta didik, dan
c.
Internalisation of values,
nilai-nilai yang terkandung/terdapat pada pengetahuan agama
ditanamkan (internalitation) oleh pendidik kepada peserta didik. St. Hafi
Anshori mengatakan bahwa manusia memang membutuhkan suatu stuasi yang menjaga
atau menjamin berlangsungnya ketertiban dalam kehidupan moral dan social, dan
agama dapat berfungsi sebagai institusi semacam itu. Motivasi keagamaan yang
mereka lahirkan lewat tingkah laku keagamaannya kesusilaan dan tata tertib
dalam masyarakat.
2.
Agama Sebagai Sarana untuk Mengatasi Frustasi
Manusia mempunyai kebutuhan dalam
kehidupan ini, mulai dari Kebutuhan fisik seperti makanan, pakaian, istirahat,
dan seksual, sampai kebutuhan psikis, seperti keamanan,, ketentraman,
per-sahabatan, penghargaan, dan kasih sayang. Menurut Sarlito Wiraman
Sarwono, apabila kebutuhannya itu tidak terpenuhi, terjadi ketidak-seimbangan,
yakni antara kebutuhan dan pemenuhan, maka akan menumbuhkan kekecewaan yang
tidak menyenangkan, kondisi atau keadaan inilah yang disebut frustasi.
Menurut
pengamatan psikolog bahwa keadaan frustasi itu dapat menimbulkan tingkah laku
kagamaan. Orang yang mengalami frustasi tidak jarang bertingkah laku religius
atau keagamaan, untuk mengatasi frustasinya. Kebutuhan-kebutuhan manusia pada hakikatnya
diarahkan kepada kebutuhan duniawi, seperti kebutuhan fisik ( pangan, sandang,
papan, seks, dan sebagainya ) kebutuhan psikis ( kehormatan, penghargaan,
perlindungan dan sebagainya ). Untuk itu ia melakukan pendekatan kepada Tuhan
melalui ibadah-hal tersebut
yang melahirkan tingkah laku keagamaan.
3. Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan
Ketakutan
yang dimaksud dalam kaitannya dengan agama sebagai sarana untuk mengatasinya,
adalah ketakutan yang tidak ada obyeknya. Untuk mengatasi ketakutan sepert
diatas, psikologi sebagai ilmu empiris, terbentur masalah kesulitan.
Soalnya bentuk ketakutan tanpa obyek hampir tidak bisa diteliti secara
positif-empiris, karena ketakutan tersebut biasanya tersembunyi dalam gejala-gejala lain yang merupakan
manifestasi terselubung dari ketakutan, misalnya dalam bentuk gejala malu, rasa
bersalah, takut kecelakaan, rasa bingung, dan takut mati. Timbulnya motivasi
agama salah satunya karena adanya rasa takut. Lihatlah misalnya disaat terjadi
musibah gempa bumi, tsunami, dan sebagainya orang berduyun-duyun pergi ke rumah ibadah minta
pertolongan dan perlindungan kepada Yang Mahakuasa.
4.
Agama sebagai sarana untuk
memuaskan keingintahuan
Agama mampunmemberi jawaban atas kesukaran
intelektual kognitif, sejauh kesukaran itu diresapi oleh keinginan eksistensial
dan psikologis, yaitu oleh keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam
kehidupan, agar dapat menempatkan diri secara berarti dan bermakna di tengah –
tengah alam semesta ini. Tanpa agama, manusia tidak mampu menjawab
pertanyaan yang sangat mendasar dalam kehidupannya, yaitu dari mana manusia
datang, apa tujuan manusia hidup, dan mengapa manusia ada, dan kemana manusia
kembalinya setelah mati.
Dipandang
dari segi psikologis dapat dikatakan bahwa agama memberi sumbangan istimewa
kepada manusia dengan mengarahkannya kepada Tuhan. Dengan demikian, agama dapat
menjadikan manusai merasa aman dalam hidupnya. Kesadaran akan keadaan itu jelas
melahirkan adanya tingkah laku keagamaan.
5.
Agama sebagai pembentuk
kata hati (conscienci)
Kata
hati menurut Erich Fromm adalah panggilan kembali manusia kepada dirinya (Erich
Fromm, 1988: 110). Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai suatu rasa
moral di dalam diri manusia berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi emosional
yang didasarkan atas fakta bahwa pikiran manusia pada dirinya sendiri dalam
mengatur keharmonisan dirinya dengan tatanan kosmik (Erich Fromm: 11). Boeh
dikatakan, filsafat skolastik (agama) lebih tegas mengatakan kata hati sebgai
kesadaran akan prinsip-prinsip
moral (Erich Fromm: 111).
Erich Fromm membagi
kata hati menjadi menjadi dua, diantaranya:
a.
Kata hati otoritarian; dibentuk
oleh pengaruh luar
b.
Kata hati humanistik; bersumber
dari dalam diri sendiri pada diri
manusia telah ada sejumlah potensi untuk memberi arah dalam kehidupan manusia.
Potensi tersebut adalah: hidayat al-Ghariziyyat (naluriah), hidayat
al-Hissiyyat (inderawi), hidayat al-Aqliyat (nalar), dan hidayat al-Diniyyat
(agama). Melalui pendekatan ini, maka agama sudah menjadi potensi fitrah yang
dibawa sejak lahir. Pengaruh lingkungan terhadap seseorang adalah memberi
bimbingan kepada potensi yang dimilikinya itu. Dengan demikian, jika potensi
fitrah itu dapat dikembangkan sejalan dengan pengaruh lingkungan maka akan
terjadi keselarasan. Sebaliknya jika potensi itu dikembangkan dalam kondisi
yang dipertentangkan oleh kondisi lingkungan, maka akan terjadi
ketidakseimbangan pada diri seseorang. Berdasarkan pendekatan ini, maka
pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan batin, rasa
bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas.
C. Fungsi Agama Dalam Kehidupan Masyarakat
Masyarakat
adalah gabungan dari kelompok individu yang terbentuk berdasarkan tatanan
sosial tertentu. Dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dikenal tiga bentuk masyarakat, yaitu: masyarakat
homogen, masyarakat majemuk, dan masyarakat heterogen.[7]
Terlepas
dari penggolongan masyarakat
tersebut, pada dasarnya masyarakat terbentuk dari adanya solidaritas dan
konsensus. Solidaritas menjadi dasar terbentuknya organisasi dalam masyarakat, sedangkan konsensus merupakan
persetujuan bersama terhadap nilai - nilai dan
norma-norma yang memberikan
arah dan makna bagi kehidupan kelompok (Thomas E O’dea, 1985: 107).[8]
Nilai-nilai dan norma-norma yang memberikan arah dan makna bagi
kehidupan masyarakat ialah agama. Masalah agama tak akan mungkin dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata
diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Dalam prakteknya fungsi agama dalam
masyarakat antara lain:
1.
Berfungsi Edukatif
Ajaran
agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan
larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan pribadi penganutnya
menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.[9]
2.
Berfungsi Penyelamat
Keselamatan
yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan leh agama.
Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada pengautnya adalah keselamatan yang
meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu
agama mengajarkan para penganutnya untuk mengenal terhadap sesuatu yang sacral
yang disebut supernatural.
Berkomunikasi dengan
supernatural dlaksanakan dengan berbagai cara sesuai dengan ajaran agama itu
sendiri, diantaranya:
a. Mempersatukan diri dengan Tuhan ( pantheisnae )
b. Pembebasan dan pensucian diri ( penebusan dosa )
c. Kelahiran kembali ( reinkarnasi )
Untuk kehadiran Tuhan bisa dalam bentuk
penghayatan batin yaitu melalui meditasi sedangkan kehadiran dalam menggunakan
benda – benda lambang melalui:
a.
Theophania spontanea:Kepercayaan bahwa Tuhan dapat
dihadirkan dalam benda – benda tertentu, seperti tempat angker. Gunung,
danau, arca, dan lainnya.
b.
Theohania
Incativa:Kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam lambang melalui permohonan, baik
melalui Invocativa magis (mantera, dukun) maupun invocative religious
(permohonan, doa, kebaktian dan sebagainya).[10]
3.
Berfungsi sebagai
Pendamaian
Melalui
agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaia batin
melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan bersalah akan segera menjadi hilang dari
batinnya apabila sesorang yang bersalah telah menebus dosanya melalui: tobat,
pensucian jiwa, ataupun penebusan dosa.[11]
4.
Berfungsi sebagai social control
Dalam
hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawas baik secara individu maupun
secara kelompok, karena:
a.
Secara instansi agama,
merupakan norma yang harus dipatuhi oleh para pengikutnya.
b.
Secara dogmatis (ajaran)
mempunyai fungsi kitis yang bersifat profetis (kenabiaan).[12]
5.
Berfungsi sebagai Pemupuk
Rasa Solidaritas
Para
penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam
satu kesatuan dalam iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan menimbulkan
rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahka kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan
yang kokoh. Bahkan rasa persaudaraan (solidaritas) itu bahkan dapat mengalahkan
rasa kebangsaan.[13]
6.
Berungsi Transformatif
Ajaran
agama dapat merubah kehidupan sesorang atau kelompok menjadi kehidupan baru
sesuai denga ajaran agama yang dianutnya.[14]
7.
Berfungsi Kreatif
Ajaran
agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan
saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang
lain. Penganut agama buka saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup
yag sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru
dalam pekerjaan yang dilakukannya.[15]
8.
Berfungsi Sublimatif
Ajaran
agama mengkuduskan segala usaha manusia bukan saja yag bersifat ukhrawi
melainkan juga bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan
dengan norma-norma agama,
bila dilakukan dengan ikhlas karena Allah merupakan ibadah.[16]
D.
AGAMA DAN PEMBANGUNAN
Prof.Dr.Mukti Ali mengemukakan bahwa
peranan agama dalam pembangunan adalah sebagai berikut:
1.
Sebagai Ethos Pembangunan
Maksudnya adalah bahwa agama yang menjadi anutan
seseorang atau masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam mampu
memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap.
Selanjutnya nilai moral tersebut akan memberikan
garis-garis pedoman tingkah laku seseorang dalam bertindak, sesuai dengan
ajaran agamanya. Segala bentuk perbuatan individu maupun masyarakat selalu
berada dalam suatu garis yang serasi dengan peraturan dan aturan agama dan
akhiratnya akan terbina suatu kebiasaan yang agamis.[17]
2.
Sebagai Motivasi
Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam
akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang
lebih baik. Pengalaman ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi
dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan.
Keyakinan akan balasan Tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan
ganjaran batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk berbuat tanpa imbalan
material. Balasan dari Tuhan berupa pahala bagi kehidupan hari akhirat lebih
didambakan oleh penganut agama yang taat.[18]
Melalui motivasi keagamaan seseorang
terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun tenaga atau
pemikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan aset yang potensial dalam
pembangunan.
Max Weber misalnya melihat ada hubungan
antara etos agama ini dengan pembangunan ekonomi. Ia melihat kemajuan ekonomi
liberal Eropa dan negara Barat, didukung oleh etika dan ajaran agama protestan
(Protestant Ethic). Pandangan seperti itu juga dikaitkan oleh sejumlah
pengamat dengan kemajuan bangsa Jepang. Keunggulan bangsa Jepang dinilai erat
kaitannya dengan nilai-nilai ajaran agama Shinto yang berintikan Bushido,
yaitu ketundukan kepada pemimpin.[19]
Dengan mitos kaisar sebagai titisan
dewa matahari, etos kerja masyarakat Jepang dapat diarahkan pada pembangunan
bangsanya. Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di Thailand, dengan nilai
ajaran Budhanya. Sedangkan masyarakat Bali terkait juga dengan etos ajaran
agama Hindu Bali. Sudah sejak lama di masyarakat Bali penghormatan kepada
pemuka agama tetap terjaga. Berbagai kegiatan pembangunan yang berbasis banjar
umumnya terkait dengan nilai-nilai keagamaan.[20]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari individu dan
masyarakat, karena agama memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap
kehidupan individu dan masyarakat.
Diantaranya, fungsi agama dalam kehidupan
individu, ialah sebagai berikut:
1.
Agama Sebagai Sumber Nilai dalam Menjaga
Kesusilaan
2.
Agama Sebagai Sarana untuk Mengatasi Prustasi
3.
Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan
4.
Agama sebagai sarana untuk memuaskan
keingintahuan
5.
Agama sebagai pembentuk
kata hati (conscienci)
Fungsi
agama dalam kehidupan masyarakat, ialah sebagai berikut:
1. Berfungsi Edukatif
2. Berfungsi Penyelamat
3. Berfungsi sebagai Pendamaian
4. Berfungsi sebagai Social control
5. Berfungsi sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas
6. Berungsi Transformatif
7. Berfungsi Kreatif
8. Berfungsi Sublimatif
Melalui motivasi
keagamaan seseorang terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun tenaga
atau pemikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan aset yang potensial dalam
pembangunan.
[6] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi
Agama,Bandung, 2008, hal. 142.
[7] Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta, 2002, hal. 242.
[9] Ibid, hal. 245.
[18] Ibid, hal. 152.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar