BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mengkaji tentang Islam akan
lebih sempurna bila kita mengkaji Arab pra-Islam terlebih dahulu, karena Islam
lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah mempunyai adat istiadat yang
diwariskan dari generasi ke generasi. Apalagi ia muncul di kota terpenting bagi
mereka yang menjadi jalur penting bagi lalu lintas perdagangan mereka kala itu.
Untuk mengkaji tentang Islam,
alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu mengetahui kondisi bangsa Arab pra
Islam, karena Islam lahir di tengah-tengah bangsa Arab, sehingga kita bisa
memperbandingkan kondisi Arab sebelum dan sesudah kedatangan Islam. Kondisi
sosial yang dimaksud adalah kondisi politik, ekonomi, kebudayaan, agama, dan
kepercayaan bangsa Arab.
Dalam makalah ini pemakalah akan sedikit membahas tentang
sejarah pendidikan islam pada masyarakat arab pra Islam. Untuk lebih lanjut
penjelasan mengenai pendidikan islam pada masyarakat arab pra Islam maka
penulis akan membahas pada sub bab yang selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat di
materi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
sejarah bangsa Arab?
2. Bagaimana Situasi Sosial dan Pendidikan
Masyarakat Arab Sebelum Islam?
1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui
bagaimna sejarah bangsa arab?
2. Mengetahui
situasi sosial dan pendidikan masyarakat Arab sebelum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Bangsa Arab
Bangsa Arab adalah salah satu entitas yang berasal dari
keturunan Sam, putra tertua Nabi Nuh. Entitas lainnya adalah Romawi dan Persia.Mereka
berdomisili disekitar wilayah barat daya benua Asia (al-Janub al-Gharbi min Asia), atau yang biasa dikenal dengan
Semenanjung Arabia. Semenanjung Arabia sebagian besar terdiri dari gurun pasir
dan stepa (padang rumput luas di gurun pasir).[1]
Sedikit sekali menyisakan wilayah yang layak ditinggali di
sekitar pinggirnya, dan daerah itu semuanya dikelilingi laut.Ketika jumlah
penduduk kian bertambah, mereka harus mencari lahan baru guna dijadikan tempat
tinggal. Mayoritas sejarawan dan peneliti sejarah mencatat, ada dua komunitas
bangsa Arab yang pernah tinggal di wilayah Semenanjung Arabia ini, yaitu:
a.
Komunitas pertama adalah bangsa Arab yang datang jauh hari
sebelum datangnya islam, sehingga referensi dan fakta sejarah tentang mereka
sangat sulit diungkap. Hal ini cukup beralasan, mengingat jauhnya rentang waktu
serta tidak ditemukannya indikasi eksistensi mereka dalam panggung sejarah
kehidupan manusia. Sejarah mereka hanya dapat diketahui dari keterangan
kitab-kitab samawi, terutama al-Qur’an, Injil, Taurat, dan syair-syair
jahiliyah. Bangsa ini selanjutnya dikenal dengan istilah Baidah. Arab baidah
adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah
A’ad, Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab ar-Rass, dan penduduk Madyan.[2]
b.
Komunitas kedua adalah bangsa Baqiyah (yang masih ada).
Terdiri dari dua suku besar, yaitu Adnaniyin dan Qahthaniyin. Kabilah Adnaniyin
berasal dari keturunan Ismail ibn Ibrahim as. Dinamakan Adnaniyin karena nenek
moyang dari kabilah ini bernama Adnan, yaitu salah satu keturunan Nabi Ismail.
Suku kedua dari bangsa Baqiyah adalah kabilah Qahthan.Garis keturunan Qahthan
sampai pada Yaqthan yang dalam kitab taurat disebut Yaqzan. Nassabun (pakar
genealogi) mengatakan, bahwa Qahthan adalah nenek moyang suku-suku di negeri
Yaman (Ab al-Yamaniyin). Pada mulanya wilayah utara diduduki golongan
Adnaniyin, dan wilayah selatan didiami golongan Qahthaniyin. Akan tetapi, lama
kelamaankedua golongan itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke
selatan atau sebaliknya.[3]
2.2 Peradaban Arab Pra Islam
Jazilah arab atau pulau
arab adalah satu semenanjung yang terletak di sebelah barat daya asia.[4]Kata
Arab secara etimologis berasal dari kata “a’raba” yang berarti bergoyang
atau mudah berguncang, dalam tata bahasa Arab (nahwu dan shorof)
berubah menjadi i’rab yang berarti perubahan bentuk suku kata sesuai
dengan perubahannya. Dalam gambaran yang stereotipe bangsa Arab disebut
memiliki temperamen yang panas dan emosi yang labil.[5]
Akan tetapi keistimewaan
jazirah Arab adalah tempat lahir sebuah agama, yang pada akhirnya nanti,
menjadi agama yang mendunia, yaitu Islam. Untuk
melacak asal-usul orang Arab, yang termasuk golongan semit, kita harus merunut
jauh ke belakang yaitu pada sosok Ibrahim dan keturunannya yang merupakan
keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Ada juga yang menyebut bangsa
Arab termasuk ras atau rumpun bangsa
secara Caucasoid, dalam sub ras Mediterranean yang anggotanya meliputi
wilayah sekitar laut tengah, Afrika utara, Armenia, Arabia dan Irania. Secara
geneaologis, para sejarahwan membagi orang Arab menjadi Arab Baydah dan Arab
Bāqiyah.
Arab Baydah adalah orang
Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah ‘Ad, Thamud,
Ṭasm, Jadis, Aṣhab al-Ras, dan Madyan. Arab Bāqiyah adalah orang Arab yang
hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qaḥṭān dan Bani ‘Adnān. Bani
Qaḥṭān adalah orang-orang Arab ‘Áribah (orang Arab asli) dan tempat mereka di
Jazirah Arab. Di antara mereka adalah raja-raja Yaman, Munadharah, Ghassan, dan
raja-raja Kindah. Di antara mereka juga ada Azad yang darinya muncul Aus dan
Khazraj. Sedangkan Bani ‘Adnān, mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah,
yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka
adalah orang-orang Arab bagian utara. Sedangkan tempat asli mereka adalah
Mekah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim. Salah satu anak
Nabi Isma’il yang paling menonjol adalah ‘Adnān. Muhammad adalah keturunan
‘Adnān. Dengan demikian beliau adalah keturunan Isma’il. Menurut Ibnu Hishām
(w. 218 H), semua orang Arab adalah keturunan Isma’il dan Qaḥṭān. Tetapi
menurut sebagian orang Yaman, Qaḥṭān adalah keturunan Isma’il dan Isma’il
adalah bapak semua orang Arab.[6]
2.3
Situasi Sosial Dan Pendidikan Masyarakat Arab Sebelum Islam
Al-Qur’an al-karim
menggambarkan situasi kehidupan masyarakat arab sebelum islam dalam berbagai
ungkapan yang negatif, seperti ungkapan fi
dlalal al-mubin (dalam kesesatan yang nyata), Dzulumat (berbuat durhaka,mengabaikan perintah tuhan, dan melanggar
larangannya) dan Fasad (berkerusakan
dimuka bumi).
Adanya berbagai prilaku
menyimpang terdapat pada masyarakat arab sebelum islam sebagaimana diisyaratkan
dalam ayat-ayat al-qur’an, syaikh Alian-nadvi berkesimpulan bahwa pada saat
kedatangan islam, masyarakat arab pada khususnya dan dunia pada umumnya berada
dalam keadaan Chaos, tak ubahnya seperti keadaan bumi yang baru saja dilanda
gempa yang dasyat, disana sisni terdapat bangunan luluh lantak, hancur dan rata
dengan tanah, dinding yang retak, tiang yang bergeser dari tempat asalnya,
genteng dan kaca-kaca yang hancur berantakan, mayat-mayat yang bergelimpangan,
dan harta benda lainnya yang hancur dan lenyapditelan bumi.[7]
Ungkapan
tersebut menggambarkan adanya kerusakan sistem kehidupan ummat manusia, baik
dalam bidang aqidah, ibadah, akhlaq yang selanjutnya berpengaruh terhadap
rusaknya sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dan lain
sebagainya.[8]
a. Dalam
bidang akidah, mereka sudah jatuh kedalam mempersekutukan Tuhan atau musyrik,
dengan cara mempercayai benda-benda atau segala sesuatu selain Tuhan.
Kepercayaan kepada segala sesuatu selain Allah SWT ini merupakan kekeliruan
besar.
b. Dalam
bidang ibadah mereka telah memuja atau menyembah berhala-berhala yang mereka
bikin sendiri, mereka telah menyembah dan memuja segala sesuatu yang
sesungguhnya tidak mampu mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, Atas dasar
ketidak cerdasan atau kekeliruannya inilah, maka mereka disebut kaum jahiliyah.
c. Dalam
bidang akhlaq, mereka telah menerapkan pola hidup bebas tanpa batas dalam
memperturutkan hawa nafsu syahwat dan nafsu materi. Seperti; berzina, berjudi,
mabuk-mabukan, merampok, berkelahi, membungakan uang (riba), bahkan membunuh
anak perempuannya hidup-hidup merupakan bagian dari ahlaq mereka
d. Dalam
bidang ekonomi, mereka menerapkan pola ekonomi menghalalkan segala cara,
mengurangi timbangan dan takaran, bersumpah palsu, berdusta, dan praktek
ekonomi secara elegal telah membudaya dalam kegiatan ekonomi mereka.
e. Dalam
bidang sosial, masyarakat Arab sebelum Islam terbagi dalam sisitem kasta. Ada
kelompok majikan, budak, buruh, dan sebagainya. Sisitem sosial yang didasarkan
pada garis keturunan, harta benda, dan jenis kelamin, ini pada gilirannya
menampilkan cara-cara perlakuan yang diskriminatif, tidak adil dan saling
merugikan.
f. Dalam
bidang politik, masyarakat arab sebelum islam menerapkan pola kekuatan yang
bersifat monopoli dan otoriter yang didasarkan setatus sosial, dan penguasaan
terhadap aset-aset dimasyarakat. Dengan demikian, pemerintah yang diterapkan
cenderung dictator, bahkan tirani, yakni kepemimpinan yang tidak memberikan
ruang gerak kepada masyarakat, segala keputusan dan kebijakan ditentukan
sepenuhnya oleh pemimpin, tanpa ada kesempatan untuk mempertanyakannya. Siapa
saja yang tidak mengikuti aturan dianggap membangkang dan harus dihabisi.
g. Dalam
bidang hukum, masyarakat Arab sebelum islam menerapkan pola hukum yang pada
dasarnya sama dengan pola dibidang politik. Hukum dapat diperjual belikan.
h. Dalam
bidang pendidikan, masyarakat Arab sebelum Islam menerapkan pola pendidikan
keluarga yang diarahkan pada pemberian pembiasaan, keterampilan, sifat dan
karakter yang harus dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan keluarga.
Pendidikan dalam arti mencerdaskan masyarakat dengan memberikan ilmu
pengetahuan dan keterampilan keraja. Pendidikan dalam arti yang kedua ini hanya
menjadi milik kaum elit, itulah sebabnya, pada masa itu jumlahh orang yang
cerdas, dapat membaca, menulis dan menghitung jumlahnya masih dapat dihitung
dengan jari.[9]
Seluruh
bangsa di muka bumi ini kecuali bangsa Arab mempunyai pemerintah yang
melindungi kebudayaan yang dipegang teguh hukum yang dianut, filsafat yang
diciptakan, serta keindahan yang dijelmakan dalam hasil-hasil pekerjaannya,
seperti pembuatan permadani, permainan catur, batu timbangan, seperti filsafat
dikalangan bangsa yunani yang membahas hakikat kejadian. Sedangkan bangsa Arab
tidak mempunyai raja yang dapat mempersatukannya, melarang tindakan kejam,
menahan orang dzalim, mmencegah peperangan; mereka juga tidak mempunyai
sedikitpun hasil pekerjaannya, tak ada peninggalan filsafat yang dianutnya,
yang ada hanya syair, itupun banyak disokong oleh bangsa bangsa asing, karena
bangsa Roma mempunyai syair yang indah baik timbangannya maupun nadanya.[10]
Ibn
Khaludin juga memiliki pendapat yang hampir senada dengan pendapat diatas.
Misal berpendapat bahwa kejadian yang ada pada bangsa arab adalah suatu hal
yang wajar, karena alamnya yang terlalu ganas menjadi bangsa yang gemar
merampas dan condong kepada hal-hal yang tak berguna, mereka merampas segala
yang dapat diraih dengan menghindari segala resiko, mereka pergi untuk
mengembalakan ternaknya dipadang. Bagi suku-suku yang bertempat tinggal di
pegunungan yang sukar dilalui akan selamat dari gangguan perampas-perampas ini.
Adapun yang tinggal di dataran apabila tidak mempunyai pelindung atau
pelindungannya lemah akan menjadi jarahan mereka yang kerap diserang dan
dirampas dan akhirnya menjadi perebutan diantara suku-suku yang kuat, dan akan
berpindah dari satu penguasa ke penguasa yang lain, yang akan mengakibatkan
hancurnya suku tersebut.
Selanjutnya
Ibn Khaludin menambahkan bahwa orang-orang arab di zaman jahiliyah selalu
berebut kekuasaan, jarang sekali diantara mereka yang mau menyerahkannya haknya
kepada orang lain, meskipun kepada ayahnya, saudaranya atau orang yang lebih
tua. Oleh sebab itu maka banyaklah jumlah pemimpin-pemimpin yang mengakibatkan
berbelitnya peraturan-peraturan yang datang kepada rakyat, baik yang berupa
pajak maupun hukum, maka kemajuan tidak akan tercapai bahkan kehancuran.
2.4
Aspek
Sosial Budaya Arab Pra Islam
Sistem sosial masyarakat
Arab pra-Islam mengikuti garis bapak (patriakal) dalam memperhitungkan
keturunan, sehingga setiap nama selalu menyebut bapaknya, kalau laki-laki
dengan bin, kalau anak perempuan dengan binti. Orang Arab akan
bangga dengan rentetan nama dibelakangnya karena menunjukan kabilah dan suku
bangsa dari nenek moyang mereka yang sangat dihormati.[11]
Klan atau kabilah biasanya dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih oleh
warga klan yang tua-tua dari salah satu warga berpengaruh yang disebut syaikh.
Syarat seorang Syaikh biasanya
dia harus seorang yang kaya dan suka berderma kepada fakir miskin dan kepada
pendukungnya, ia haruslah orang yang berprilaku adil dan bijak, sabar, pemaaf,
dan rajin bekerja, diatas itu semua biasanya dia juga harus adil didalam
mengambil keputusan.
Sebagian besar daerah Arab
adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur.
Wajar saja bila dunia tidak
tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa akan mendapat keuntungan
dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang
hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke
tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka
kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput
dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain
pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun (Tihama,
Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab) dasar
hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan
pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita
kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan
kebebasan kabilah yang penuh. Keadaan
itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya.
Seperti halnya sebagian
penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri,
keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu
tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu
sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan
mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di
setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat
sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak
menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini
tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh
sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang
mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya
dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal
kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan.
Semua itu bukan berarti
mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali. Sebagai lalu
lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di
Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan
Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar
perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu
banyaknya, yaitu Ukāẓ, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan
tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban
kecil.
Bahkan masa Jahiliah bukan
masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia
merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada sejak
seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia
kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī al-Rāfidīn
dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat
dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan
Persia dan Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu
Rumawi, dan penduduk Mekah yang berhubungan dengan bermacam-macam penjuru.
Fakta di atas menunjukkan
bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan
agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa
Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak
mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas, dan peradaban yang
hanya berdasarkan pada nilai-nilai materialistik. Pencapaian mereka membuktikan
luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti bendungan Ma’rib yang
dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan Ḥimyar, ilmu
politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan perdagangan,
dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang
di Ka’bah.
Memang persoalan apakah
orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta tersebut
menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak semuanya.
Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi
ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat
seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam
bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suatu mukjizat ada kecuali
untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.[12]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bangsa Arab adalah salah satu entitas yang berasal dari keturunan
Sam, putra tertua Nabi Nuh. Entitas lainnya adalah Romawi dan Persia. Mereka
berdomisili disekitar wilayah barat daya benua Asia atau yang biasa dikenal
dengan Semenanjung Arabia. Semenanjung Arabia sebagian besar terdiri dari gurun
pasir dan stepa (padang rumput luas di gurun pasir).
Adanya
berbagai prilaku menyimpang terdapat pada masyarakat arab sebelum islam
sebagaimana diisyaratkan dalam ayat-ayat al-qur’an. Ungkapan tersebut
menggambarkan adanya kerusakan sistem kehidupan ummat manusia, baik dalam
bidang aqidah, ibadah, akhlaq yang selanjutnya berpengaruh terhadap rusaknya
sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dan lain
sebagainya.
3.2 Saran
Saran yang
bersifat membangun kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini,
sebagai sarana yang dapat mendorong para Mahasiswa/Mahasiswi agar dalam
berfikir aktif dan kreatif.
DAFTAR
PUSTAKA
Al ‘Usairy Ahmad, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003
SJ Fadil, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta:
UIN Malang, 2008
Su’ud Abu, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan
Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Natta Abudin,Sejarah pendidikan islam,Jakarta: ISBN, 2010
[3] Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta:
UIN Malang, 2008), h. 47
[5]Abu
Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat
Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 14
[7]Abudin natta,Sejarah pendidikan islam,(jakarta: ISBN, 2010), h.36
[9] Ibid, h.38
[10]
Ibid, h.42
[11]
Abu Su’ud, op. Cit, h.
15