Senin, 11 Mei 2015

SEJARAH BANGSA ARAB PRA ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Mengkaji tentang Islam akan lebih sempurna bila kita mengkaji Arab pra-Islam terlebih dahulu, karena Islam lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah mempunyai adat istiadat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Apalagi ia muncul di kota terpenting bagi mereka yang menjadi jalur penting bagi lalu lintas perdagangan mereka kala itu. Untuk mengkaji tentang Islam, alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu mengetahui kondisi bangsa Arab pra Islam, karena Islam lahir di tengah-tengah bangsa Arab, sehingga kita bisa memperbandingkan kondisi Arab sebelum dan sesudah kedatangan Islam. Kondisi sosial yang dimaksud adalah kondisi politik, ekonomi, kebudayaan, agama, dan kepercayaan bangsa Arab.
Dalam makalah ini pemakalah akan sedikit membahas tentang sejarah pendidikan islam pada masyarakat arab pra Islam. Untuk lebih lanjut penjelasan mengenai pendidikan islam pada masyarakat arab pra Islam maka penulis akan membahas pada sub bab yang selanjutnya.

1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat di materi ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah bangsa Arab?
2.      Bagaimana Situasi Sosial dan Pendidikan Masyarakat Arab Sebelum Islam?

1.3  Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk :
1.      Mengetahui bagaimna sejarah bangsa arab?
2.      Mengetahui situasi sosial dan pendidikan masyarakat Arab sebelum Islam?
BAB II
PEMBAHASAN

      2.1 Sejarah Bangsa Arab

Bangsa Arab adalah salah satu entitas yang berasal dari keturunan Sam, putra tertua Nabi Nuh. Entitas lainnya adalah Romawi dan Persia.Mereka berdomisili disekitar wilayah barat daya benua Asia (al-Janub al-Gharbi min Asia), atau yang biasa dikenal dengan Semenanjung Arabia. Semenanjung Arabia sebagian besar terdiri dari gurun pasir dan stepa (padang rumput luas di gurun pasir).[1]
Sedikit sekali menyisakan wilayah yang layak ditinggali di sekitar pinggirnya, dan daerah itu semuanya dikelilingi laut.Ketika jumlah penduduk kian bertambah, mereka harus mencari lahan baru guna dijadikan tempat tinggal. Mayoritas sejarawan dan peneliti sejarah mencatat, ada dua komunitas bangsa Arab yang pernah tinggal di wilayah Semenanjung Arabia ini, yaitu:
a.       Komunitas pertama adalah bangsa Arab yang datang jauh hari sebelum datangnya islam, sehingga referensi dan fakta sejarah tentang mereka sangat sulit diungkap. Hal ini cukup beralasan, mengingat jauhnya rentang waktu serta tidak ditemukannya indikasi eksistensi mereka dalam panggung sejarah kehidupan manusia. Sejarah mereka hanya dapat diketahui dari keterangan kitab-kitab samawi, terutama al-Qur’an, Injil, Taurat, dan syair-syair jahiliyah. Bangsa ini selanjutnya dikenal dengan istilah Baidah. Arab baidah adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah A’ad, Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab ar-Rass, dan penduduk Madyan.[2]
b.      Komunitas kedua adalah bangsa Baqiyah (yang masih ada). Terdiri dari dua suku besar, yaitu Adnaniyin dan Qahthaniyin. Kabilah Adnaniyin berasal dari keturunan Ismail ibn Ibrahim as. Dinamakan Adnaniyin karena nenek moyang dari kabilah ini bernama Adnan, yaitu salah satu keturunan Nabi Ismail. Suku kedua dari bangsa Baqiyah adalah kabilah Qahthan.Garis keturunan Qahthan sampai pada Yaqthan yang dalam kitab taurat disebut Yaqzan. Nassabun (pakar genealogi) mengatakan, bahwa Qahthan adalah nenek moyang suku-suku di negeri Yaman (Ab al-Yamaniyin). Pada mulanya wilayah utara diduduki golongan Adnaniyin, dan wilayah selatan didiami golongan Qahthaniyin. Akan tetapi, lama kelamaankedua golongan itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.[3]

2.2 Peradaban Arab Pra Islam

Jazilah arab atau pulau arab adalah satu semenanjung yang terletak di sebelah barat daya asia.[4]Kata Arab secara etimologis berasal dari kata “a’raba” yang berarti bergoyang atau mudah berguncang, dalam tata bahasa Arab (nahwu dan shorof) berubah menjadi i’rab yang berarti perubahan bentuk suku kata sesuai dengan perubahannya. Dalam gambaran yang stereotipe bangsa Arab disebut memiliki temperamen yang panas dan emosi yang labil.[5]
Akan tetapi keistimewaan jazirah Arab adalah tempat lahir sebuah agama, yang pada akhirnya nanti, menjadi agama yang mendunia, yaitu Islam. Untuk melacak asal-usul orang Arab, yang termasuk golongan semit, kita harus merunut jauh ke belakang yaitu pada sosok Ibrahim dan keturunannya yang merupakan keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang orang Arab. Ada juga yang menyebut bangsa Arab termasuk ras atau rumpun bangsa  secara Caucasoid, dalam sub ras Mediterranean yang anggotanya meliputi wilayah sekitar laut tengah, Afrika utara, Armenia, Arabia dan Irania. Secara geneaologis, para sejarahwan membagi orang Arab menjadi Arab Baydah dan Arab Bāqiyah.
Arab Baydah adalah orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah ‘Ad, Thamud, Ṭasm, Jadis, Aṣhab al-Ras, dan Madyan. Arab Bāqiyah adalah orang Arab yang hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qaḥṭān dan Bani ‘Adnān. Bani Qaḥṭān adalah orang-orang Arab ‘Áribah (orang Arab asli) dan tempat mereka di Jazirah Arab. Di antara mereka adalah raja-raja Yaman, Munadharah, Ghassan, dan raja-raja Kindah. Di antara mereka juga ada Azad yang darinya muncul Aus dan Khazraj. Sedangkan Bani ‘Adnān, mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian utara. Sedangkan tempat asli mereka adalah Mekah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim. Salah satu anak Nabi Isma’il yang paling menonjol adalah ‘Adnān. Muhammad adalah keturunan ‘Adnān. Dengan demikian beliau adalah keturunan Isma’il. Menurut Ibnu Hishām (w. 218 H), semua orang Arab adalah keturunan Isma’il dan Qaḥṭān. Tetapi menurut sebagian orang Yaman, Qaḥṭān adalah keturunan Isma’il dan Isma’il adalah bapak semua orang Arab.[6]

2.3 Situasi Sosial Dan Pendidikan Masyarakat Arab Sebelum Islam
       Al-Qur’an al-karim menggambarkan situasi kehidupan masyarakat arab sebelum islam dalam berbagai ungkapan yang negatif, seperti ungkapan fi dlalal al-mubin (dalam kesesatan yang nyata), Dzulumat (berbuat durhaka,mengabaikan perintah tuhan, dan melanggar larangannya) dan Fasad (berkerusakan dimuka bumi).
Adanya berbagai prilaku menyimpang terdapat pada masyarakat arab sebelum islam sebagaimana diisyaratkan dalam ayat-ayat al-qur’an, syaikh Alian-nadvi berkesimpulan bahwa pada saat kedatangan islam, masyarakat arab pada khususnya dan dunia pada umumnya berada dalam keadaan Chaos, tak ubahnya seperti keadaan bumi yang baru saja dilanda gempa yang dasyat, disana sisni terdapat bangunan luluh lantak, hancur dan rata dengan tanah, dinding yang retak, tiang yang bergeser dari tempat asalnya, genteng dan kaca-kaca yang hancur berantakan, mayat-mayat yang bergelimpangan, dan harta benda lainnya yang hancur dan lenyapditelan bumi.[7]
Ungkapan tersebut menggambarkan adanya kerusakan sistem kehidupan ummat manusia, baik dalam bidang aqidah, ibadah, akhlaq yang selanjutnya berpengaruh terhadap rusaknya sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dan lain sebagainya.[8]
a.       Dalam bidang akidah, mereka sudah jatuh kedalam mempersekutukan Tuhan atau musyrik, dengan cara mempercayai benda-benda atau segala sesuatu selain Tuhan. Kepercayaan kepada segala sesuatu selain Allah SWT ini merupakan kekeliruan besar.
b.      Dalam bidang ibadah mereka telah memuja atau menyembah berhala-berhala yang mereka bikin sendiri, mereka telah menyembah dan memuja segala sesuatu yang sesungguhnya tidak mampu mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, Atas dasar ketidak cerdasan atau kekeliruannya inilah, maka mereka disebut kaum jahiliyah.
c.       Dalam bidang akhlaq, mereka telah menerapkan pola hidup bebas tanpa batas dalam memperturutkan hawa nafsu syahwat dan nafsu materi. Seperti; berzina, berjudi, mabuk-mabukan, merampok, berkelahi, membungakan uang (riba), bahkan membunuh anak perempuannya hidup-hidup merupakan bagian dari ahlaq mereka
d.      Dalam bidang ekonomi, mereka menerapkan pola ekonomi menghalalkan segala cara, mengurangi timbangan dan takaran, bersumpah palsu, berdusta, dan praktek ekonomi secara elegal telah membudaya dalam kegiatan ekonomi mereka.
e.       Dalam bidang sosial, masyarakat Arab sebelum Islam terbagi dalam sisitem kasta. Ada kelompok majikan, budak, buruh, dan sebagainya. Sisitem sosial yang didasarkan pada garis keturunan, harta benda, dan jenis kelamin, ini pada gilirannya menampilkan cara-cara perlakuan yang diskriminatif, tidak adil dan saling merugikan.
f.       Dalam bidang politik, masyarakat arab sebelum islam menerapkan pola kekuatan yang bersifat monopoli dan otoriter yang didasarkan setatus sosial, dan penguasaan terhadap aset-aset dimasyarakat. Dengan demikian, pemerintah yang diterapkan cenderung dictator, bahkan tirani, yakni kepemimpinan yang tidak memberikan ruang gerak kepada masyarakat, segala keputusan dan kebijakan ditentukan sepenuhnya oleh pemimpin, tanpa ada kesempatan untuk mempertanyakannya. Siapa saja yang tidak mengikuti aturan dianggap membangkang dan harus dihabisi.
g.      Dalam bidang hukum, masyarakat Arab sebelum islam menerapkan pola hukum yang pada dasarnya sama dengan pola dibidang politik. Hukum dapat diperjual belikan.
h.      Dalam bidang pendidikan, masyarakat Arab sebelum Islam menerapkan pola pendidikan keluarga yang diarahkan pada pemberian pembiasaan, keterampilan, sifat dan karakter yang harus dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan keluarga. Pendidikan dalam arti mencerdaskan masyarakat dengan memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan keraja. Pendidikan dalam arti yang kedua ini hanya menjadi milik kaum elit, itulah sebabnya, pada masa itu jumlahh orang yang cerdas, dapat membaca, menulis dan menghitung jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari.[9]

Seluruh bangsa di muka bumi ini kecuali bangsa Arab mempunyai pemerintah yang melindungi kebudayaan yang dipegang teguh hukum yang dianut, filsafat yang diciptakan, serta keindahan yang dijelmakan dalam hasil-hasil pekerjaannya, seperti pembuatan permadani, permainan catur, batu timbangan, seperti filsafat dikalangan bangsa yunani yang membahas hakikat kejadian. Sedangkan bangsa Arab tidak mempunyai raja yang dapat mempersatukannya, melarang tindakan kejam, menahan orang dzalim, mmencegah peperangan; mereka juga tidak mempunyai sedikitpun hasil pekerjaannya, tak ada peninggalan filsafat yang dianutnya, yang ada hanya syair, itupun banyak disokong oleh bangsa bangsa asing, karena bangsa Roma mempunyai syair yang indah baik timbangannya maupun nadanya.[10]
Ibn Khaludin juga memiliki pendapat yang hampir senada dengan pendapat diatas. Misal berpendapat bahwa kejadian yang ada pada bangsa arab adalah suatu hal yang wajar, karena alamnya yang terlalu ganas menjadi bangsa yang gemar merampas dan condong kepada hal-hal yang tak berguna, mereka merampas segala yang dapat diraih dengan menghindari segala resiko, mereka pergi untuk mengembalakan ternaknya dipadang. Bagi suku-suku yang bertempat tinggal di pegunungan yang sukar dilalui akan selamat dari gangguan perampas-perampas ini. Adapun yang tinggal di dataran apabila tidak mempunyai pelindung atau pelindungannya lemah akan menjadi jarahan mereka yang kerap diserang dan dirampas dan akhirnya menjadi perebutan diantara suku-suku yang kuat, dan akan berpindah dari satu penguasa ke penguasa yang lain, yang akan mengakibatkan hancurnya suku tersebut.
Selanjutnya Ibn Khaludin menambahkan bahwa orang-orang arab di zaman jahiliyah selalu berebut kekuasaan, jarang sekali diantara mereka yang mau menyerahkannya haknya kepada orang lain, meskipun kepada ayahnya, saudaranya atau orang yang lebih tua. Oleh sebab itu maka banyaklah jumlah pemimpin-pemimpin yang mengakibatkan berbelitnya peraturan-peraturan yang datang kepada rakyat, baik yang berupa pajak maupun hukum, maka kemajuan tidak akan tercapai bahkan kehancuran.
2.4 Aspek Sosial Budaya Arab Pra Islam

Sistem sosial masyarakat Arab pra-Islam mengikuti garis bapak (patriakal) dalam memperhitungkan keturunan, sehingga setiap nama selalu menyebut bapaknya, kalau laki-laki dengan bin, kalau anak perempuan dengan binti. Orang Arab akan bangga dengan rentetan nama dibelakangnya karena menunjukan kabilah dan suku bangsa dari nenek moyang mereka yang sangat dihormati.[11] Klan atau kabilah biasanya dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih oleh warga klan yang tua-tua dari salah satu warga berpengaruh yang disebut syaikh. Syarat seorang Syaikh  biasanya dia harus seorang yang kaya dan suka berderma kepada fakir miskin dan kepada pendukungnya, ia haruslah orang yang berprilaku adil dan bijak, sabar, pemaaf, dan rajin bekerja, diatas itu semua biasanya dia juga harus adil didalam mengambil keputusan. Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur.
Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabatpun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun (Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab) dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.  Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya.
Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan.
Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali. Sebagai lalu lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban kecil.
Bahkan masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada sejak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang berhubungan dengan bermacam-macam penjuru.
Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas, dan peradaban yang hanya berdasarkan pada nilai-nilai materialistik. Pencapaian mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah.
Memang persoalan apakah orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta tersebut menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suatu mukjizat ada kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.[12]

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bangsa Arab adalah salah satu entitas yang berasal dari keturunan Sam, putra tertua Nabi Nuh. Entitas lainnya adalah Romawi dan Persia. Mereka berdomisili disekitar wilayah barat daya benua Asia atau yang biasa dikenal dengan Semenanjung Arabia. Semenanjung Arabia sebagian besar terdiri dari gurun pasir dan stepa (padang rumput luas di gurun pasir).
Adanya berbagai prilaku menyimpang terdapat pada masyarakat arab sebelum islam sebagaimana diisyaratkan dalam ayat-ayat al-qur’an. Ungkapan tersebut menggambarkan adanya kerusakan sistem kehidupan ummat manusia, baik dalam bidang aqidah, ibadah, akhlaq yang selanjutnya berpengaruh terhadap rusaknya sistem ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dan lain sebagainya.
3.2 Saran
Saran yang bersifat membangun kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini, sebagai sarana yang dapat mendorong para Mahasiswa/Mahasiswi agar dalam berfikir aktif dan kreatif.


DAFTAR PUSTAKA

Al ‘Usairy Ahmad, Sejarah Islam, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003
SJ Fadil, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: UIN Malang, 2008
Su’ud Abu, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003
Natta Abudin,Sejarah pendidikan islam,Jakarta: ISBN, 2010


[2] Ahmad al ‘Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003), Cet. 2, h. 58
[3] Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: UIN Malang, 2008), h. 47
[4] Ibid, h. 43
[5]Abu Su’ud, Islamologi, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 14
[7]Abudin natta,Sejarah pendidikan islam,(jakarta: ISBN, 2010), h.36
[8] Ibid, h.37
[9] Ibid, h.38
[10] Ibid, h.42
[11] Abu Su’ud, op. Cit, h. 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar