Senin, 11 Mei 2015

PERNIKAHAN ANTAR AGAMA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Hukum pernikahan beda agama, atau biasa juga dikenal dengan pernikahan lintas agama. Selalu menjadi polemik yang cukup kontroversial dalam masyarakat, khususnya negara yang memiliki berbagai macam penduduk dengan agama yang berbeda-beda.
Indonesia merupakan negara mayoritas muslim terbanyak di seluruh dunia, namun tetap saja sering muncul pertanyaan menyangkut perihal pernikahan. Bolehkah seorang muslim menikahi seorang yang non muslim jika boleh, bagaimana islam menyikapi hal tersebut?
Mari kita lihat dari dua sudut pandang pada hukum pernikahan berbeda agama ini terlebih dahulu. Pernikahan beda agama, dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan pasangan yang menikah, yaitu: seorang laki-laki muslim menikahi perempuan dan sebaliknya, seorang muslim perempuan yang menikahi seorang laki-laki yang non muslim, pembagian ini dilakukan karena hukum di antaranya masing-masing berbeda. Bagaimanakah hukumnya dalam islam?

B.     RUMUSAN MASALAH

  1. Bagaiamanakah hukum pernikahan antar agama
  2. Bagaimanakah hukum perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim
  3. Bagaimanakah hukum perkawinan wanita muslim dengan pria non muslim?


 BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN PERNIKAHAN (PERKAWINAN)
Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan”. Ada pula yang mengartikan “perjanjian” (Al-Aqdu).
Secara terminologi pernikahan menurut Abu Hanifah adalah: “aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja”.
Pengukuhan disini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan pembuat Syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua orang yang saling membuat ‘aqad (perjanjian) bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata.
Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah: “aqad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita”.
Dengan aqad tersebut seseorang akan terhindar dari perbuatan haram (zina). menurut mazhab Syafi’i perikahan adalah: ”aqad yang menjamin diperbolehkan persetubuhan”.
Sedangkan menurut mazhab Hambali adalah: “aqad yang didalamnya terdapat lafadz pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur”.
Kalau kita perhatikan keempat definisi tersebut jelas, bahwa yang menjadi ini pokok pernikahan itu adalah aqad (perjanjian) yaitu serah terima anatara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria. Penyerahan dan penerimaan tanggung jawab dalam arti yang luas, telah terjadi pada saat ‘aqad nikah itu, disamping penghalalan bercampur keduanya sebagai suami istri. [1]

B.  TUJUAN PERKAWINAN
1.    Menentramkan jiwa
Allah menciptakan hambanya hidup berpasangan dan tidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hal itu adalah sesuatu yang alami, yaitu pria tertarik kepada wanita dan begitu pula sebaliknya.
Bila sudah terjadi akad nikah, si wanita merasa jiwanya tentram, karena merasa ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah tangga.
Si suami pun meraa tentram karena ada pendamping untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpuhkan perasaan suka dan duka, dan teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. Allah berfirman:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Ar-Rum: 21)[2].

2.    Mewujudkan (Melestarikan Keturunan)
Biasanya sepasang suami istri tidak ada yang tidak mendambakan anak keturunana untuk meneruskan kelangsungan hidup. Anak turunan diharapakan dapat mengambil alih tugas, perjuangan dan ide-ide ayng pernah tertanam di dalam jiwa suami atau istri. Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan oleh Allah dalam firmannya;
ª!$#ur Ÿ@yèy_ Nä3s9 ô`ÏiB ö/ä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& Ÿ@yèy_ur Nä3s9 ô`ÏiB Nà6Å_ºurør& tûüÏZt/ Zoyxÿymur Nä3s%yuur z`ÏiB ÏM»t6Íh©Ü9$# ...
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. ...(An-Nur: 72)
Berdasarkan ayat tersebut jelas, bahwa Allah menciptakkan manusia ini berpasang-pasangan supaya berkembang mengisi bumi ini dan memakmurkannya. Atas kehendak Allah naluri manusia pun menginginkan demikian[3].
3.    Memenuhi Kebutuhan Biologis
Hampir semua manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, menginginkan hubungan seks. Bahkan dunia hewan pun berperilaku demikian. Keinginan demikian adalah alami, tidak usah dibendung dan dilarang.
Pemenuhan kebutuhan biologis itu harus diatur melalui lembaga perkawinan, supaya tidak terjadi penyimpangan, tidak lepas bebas begitu saja sehingga norma-norma adat-istiadat dan agama dilanggar.
Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah. Kalau tidak ada kecenderungan dan keinginan untuk itu, tentu manusia tidak akan berkembang biak. Sedangkan Allah menghendaki demikian sebagaimana Firman-Nya:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ  
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(An-Nisa: 1).
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami, bahwa tuntutan pengembangbiakan dan tuntutan biologis telah dapat terpenuhi sekaligus[4].

4.    Latihan Memikul Tanggung Jawab
Pada dasarnya, Allah menciptakan manusia di dalam kehidupan ini, tidak hanya untuk sekedar makan, minum, hidup kemudian mati seperti yang dialami oleh makhluk lainnya. Lebih jauh lagi, manusia diciptakan supaya berfikir, menentukan, mengatur, mengurus segala persoalan, mencari dan memberi manfaat untuk umat.
Sesuai yang dimaksud penciptaan manusia dengan segala keistimewaan berkarya, maka manusia itu tidak pantas bebas dari tanggung jawab. Manusia bertanggung jawab dalam keluarga , masyarakat dan negara. Latihan itu pula dimulai dari ruang lingkup yag terkecil lebih dahulu (keluarga), kemudian baru meningkat kepada yang lebih luas lagi[5].

C.  PERKAWINAN ANTAR AGAMA
Perkawinan antar agama, dapat diartikan sebagai perkawinan dua insan yang berbeda agama, kepercayaan atau paham[6].
Perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang non-Islam (pria/wanita) lazimnya disebut perkawinan antar agama, lintas agama atau beda agama. Perkawinan beda agama yang dimaksud ini dapat terjadi antara: (1)calon istri beragama dan calon suami tidak beragama Islam, baik dari kalangan ahlul kitab maupun umat musyrik; (2) calon suami beragama islam dan calon istri tidak beragama islam, baik dari kalangan ahlul kitab maupun umat musyrik.[7]
Di dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan antar agama tidak diatur, karena perkawinan tersebut tidak dibenarkan ajaran agama, yaituada halangan terjadinya perkawinan bagi calon suami, calon istri berbeda agama, hal ini sesuai dengan yang dikehendaki pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 2 undang-undang Perkawinan ini terang menunjukkan paling pertama kepada hukum masing-masing agama dan kepercayaaannya bagi masing-masing pemeluknya. Sedangkan menurut penjelasan pasal 2 itu. Tidak ada perkawinan diuar hukum masing-masing agamanaya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945[8].

D.  PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA NON MUSLIM

  1. Perkawinan Pria Muslim Dengan Wanita Bukan Ahli Kitab

Perkawinan pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab, terbagi kepada:
a.       Perkawinan Dengan Wanita Musyrik
Agama Islam tidak memperkenankan pria muslim kawin dengan wanita musyrik[9], sebagaiamana diharamkannya; begitu juga halnya mengawini perempuan atheis (mulhid) kecuali bila ia masuk baru dihalalkan oleh Agama[10]. Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& ....
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu...(Al-Baqarah: 221).
b.      Perkawinan Dengan Wanita Majusi
Pria muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita Majusi (penyembah api), sebab mereka tidak termasuk ahli kitab. Demikian pendapat Jumhur Ulama, dan yang dimaksud dengan ahli kitab adalah Yahudi dan Nashara.
Sedangkan golongan Zhahiriyah,memperbolehkan pria muslim kawin dengan wanita Majusi karena orang-orang Majusi dimasukkan ke dalam kelompok ahli kitab.
Disamping itu adalah ulama lain yang memperbolehkannya karena menurut satu riwayat, bahwa Hudzaifah juga pernah kawin dengan wanita Majusi. Demikian juga kepada orang-orang Majusi ditetapkan jizyah (pajak), sehingga keberadaan mereka sama dengan orang Yahudi dan Nashara.
Dalam persoalan ini, yang dipandang paling tepat alaha pendapat Jumhur Ulama, yaitu prian muslim tidak dibenarkan kawin dengan wanita majusi, sebab mereka tidak termasuk ahli kitab, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:
br& (#þqä9qà)s? !$yJ¯RÎ) tAÌRé& Ü=»tGÅ3ø9$# 4n?tã Èû÷ütGxÿͬ!$sÛ `ÏB $uZÎ=ö7s% bÎ)ur $¨Zä. `tã öNÍkÉJy#uÏŠ šúüÎ=Ïÿ»tós9 ÇÊÎÏÈ    
(kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: "Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan[522] saja sebelum Kami, dan Sesungguhnya Kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca. (Al-An’am: 156)[11].

c.       Perkawinan Dengan Wanita Shabi’ah
Shabiah adalah satu golongan dalam agama Nasrani; Shabi’ah dinisbatkan kepada shab paman Nabi Nuh AS. Ada pula yang berpendapat, dinamakan shabi’ah, karena berpindah dari satu agama kepada agama lain.
Ibnul Hammam mengatakan, bahwa orang-orang Shabi’ah adalah golonga yang memadukan antara agama Yahudi dan Nasrani. Mereka menyembah bintang-bintang. Dalam berbagai buku hadits disebutkan bahwa mereka termasuk golongan ahli kitab.
Ibnu Qudamah berkata: “para ulama berbeda pendapat tentang orang-orang Shabi’ah. Menurut riiwayat Ahmad, bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani. Tetapi di tempat lain ia berkata: ”pernah ku dengar bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari sabtu. Jadi mereka termasuk orang-orang Yahudi?
Menurut riwayat Umar, bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari sabtu. Sedangkan Mujahid menganggap, mereka nerada diantara agama yahudi dan nasrani.
Imam Syafi’i mengambil jalan tengah, yaitu apabila lebih mendekati keyakinan mereka kepada slah satu agama (yahudi atau nasrani), maka orang tersebut termasuk golongan agma itu. Bila tidak mendekati kepada keduanya itu, berarti orang itu bukan ahli kitab.
Dari uraian diatas dapat dipahami, bahwa para Ulama berpendapat, ada yang mengatakan termasuk ahli kitab ada pula yang mengatakan tidak.
Abu Hanifah berpendapat boleh kawin dengan wanita Shabi’ah, sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan Syaibani, tidak memperbolehkannya, karena mereka penyembah patung-patung san bintang-bintang. Pendapat mazhab malik juga sejalan dengan pendapat ini.
Mazhab Syafi’i dan Hambali membuat garis pembatas dalam masalah ini. Jika merkea meyerupai orang-orang yahudi dan Nasrani dalam prinsip-prinsip agamanya, maka wanita Shabi’ah itu boleh dikawini. Tetapi bila berbeda dalam hal-hal prinsip berarti mereka termasuk golongan Yahudi atau Nasrani dan berarti pula, bahwa wanita Shabi’ah itu tidak boleh dikawini oleh pria muslim[12].
d.      Perkawinan Dengan Wanita Penyembah Berhala
Para ulama telah sepakat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita penyembah berhala dan penyembah benda-benda lainnya, karena mereka termasuk orang-orang kafir, sebagaiman Firman Allah:
Ÿwur.... (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ̍Ïù#uqs3ø9$# .....
....dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; ... (Al-Mumtahanah: 10)
Pada ayat lain Allah berfirman:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム....
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah: 221)[13].

2.      Perkawinan Pria Muslim Dengan Wanita Ahli Kitab
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan wantia ahli kitab.
a.       Menurut pendapat Jumhur Ulama baik Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali, seorang muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berbeda dalam lindungan (kekuasaan) negara Islam (ahli Dzimmah).
b.      Golongan Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab.
Golongan pertama (Jumhur Ulama) mendasarkan pendapat mereka kepaa beberapa dalil:
a.       Firman Allah yang berbunyi:
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% ...
Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu.. (Al-Maidah: 5).
b.      Diantara sahabat adapula yang kawin dengan ahli kitab seperti Usman bin Affan mengawini Na’ilah binti Al-Gharamidah seorang beragana Nasrani, yang kemudian masuk Islam. Demikian juga Hudzaifah mengawini wanita Yahudi dari penduduk Madain.
c.       Jabir ra. Pernah ditanya tentang perkawinan pria muslim dengan wanita Yahudi atau Nasrani: beliau menjawab: “kami pun pernah menikah dengan mereka pada waktu penklukan Kufah bersama-sama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash”.
Golongan kedua (syi’ah), melandaskan pendapatnya pada beberapa dalil:
a.       Firman Allah:
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム...
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman... (Al-Baqarah: 221)
Golongan ini berpendapat, bahwa wanita-wanita ahli kitab itu termasuk kafir, karena wanita-wanita ahli kitab itu telah musyrik (menyekutukan Allah) berdasarkan riwayat Ibnu Umar, bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum mengawini wanita Yahudi dan Nasrani. beliau menjawab: “sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang mukmin, saya tidak mengetaui kemusyrikan yang lebih besar daripada anggapan seorang wanita (Nasrani), bahwa tuhannya adalah Isa. Padahal Isa hanya seorang manusia dari hamba Allah”.
Kemudian dikalangan Jumhur Ulama yang membolehkan kawin dengan ahli kitab, juga berbeda pendapat.
1.      Sebagian Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, mengatakan, bahwa hukum perkawinan itu makruh.
2.      Menurut pendapat sebagian mazhab Maliki, Ibnul Qasim, Khalil bahwa perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat Malik.
3.      Az-Zarkasyi (mazhab Syafi’i) mengatakan bahwa pernikahan itu disunatkan, apabila wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam[14].
Diantara hikmah yang dikemukakan oleh para ulama yang membolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita kristen atau yahudi karena pada mula dan hakikatnya agama kristen dan Yahudi itu satu rumpun dengan agama islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka, kalau seorang wanita Kristen atau Yahudi nikah dengan pria muslim yang baik, taat dan kuat imannya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri wanita itu masuk islam. Karena, ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan agama islam setelah ia hidup ditengah keluarga islam. Sebab, agama islam mengajarkan konsep dan pedoman hidup yang lengkap, mudah, toleran, fleksibel, demokratis, dll.
Karena itu, cukup bijaksana dan suatu ketetapan yang arif bahwa agama islam pada dasarnya melarang pernikahan muslim dengan muslimah dengan bukan penganut islam, kecuali dalam kondisi tertentu yang ditolerir syariat, pria muslim yang kualitas dan kadar iman dan islamnya cukup mantap, diperkenakan kawin dengan wanita Ahlul Kitab yang akidah dan praktik ibadahnya tidak menyimpang jauh dari islam atau yang bukan dari kalangan aktis fanatik dari agama Ahlul Kitab dengan disertai tujuan visi, misi, dan usaha serius untuk membawa pasangannya kedalam islam. Fakta-fakta menunjukkan sebagaimana dikemukakan oleh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam Hikmah at-Tasyri’ wa falsafatuhu (1931) bahwa wanita-wanita barat dan timur yang nikah dengan pria muslim yang baik dan taat pada ajaran agamanya, pada akhirnya dapat terbuka hatinya dan atas kesadaran sendiri masuk Islam[15].

E.  PERKAWINAN WANITA MUSLIM DENGAN PRIA NON MUSLIM
Apabila perkawinan beda agama terjadi antara perempuan yang beragama islam dan laki-laki yang tidak beragama islam, baik calon suami termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci seperti yahudi dan nasrani yang disebut ahlul kitab, maupun pemeluk agama lainnya yang  mempunyai kitab ajaran serupa kitab suci, seperti budha, hindu, maupun pemeluk agama ataupun kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci termasuk disini para penganut aliran kepercayaan, kebatinan, maka para ulama sepakat hukumnya haram dan tidak sah berdasarkan firman allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 221. Disamping itu juga,berdasarkan ijma’ (menurut hasi konsensus ulama) yang melarang perkawinan wanita muslimah dengan pria non muslim apapun agama dan kepercayaannya.
Diantara hikmah yang dikemukakan sebagai pendukung alasan diharamkannya perkawinan tersebut adalah dikhawatirkan wanita islam itu kehikangan kebebasan beragama dan karena lemah pendiriannya sehingga dapat mudah terseret untuk murtad mengikuti agama suaminya. Demikian pula anak keturunan yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan akan mengikuti agama bapaknya karena posisis dominan dan otoritas bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak melebihi ibunya. Dalam hal ini, fakta-fakta sejarah menunjukkan adanya bahaya aksi permutadan dalam proses islamisasi sert konfersi agama mealui jalur perkawinan ini, terutama yang banyak terjadi korban adalah para wanita muslimah[16].

BAB III
KESIMPULAN

Pernikahan itu adalah aqad (perjanjian) yaitu serah terima anatara orang tua calon mempelai wabiata dengan calon mempelai pria. Penyerahan dan penerimaan tanggung jawab dalam arti yang luas, telah terjadi pada saat ‘aqad nikah itu, disamping penghalalan bercampur keduanya sebagai suami istri.
Tujuan perkawinan adalah sebagai berikut:
1.     Menentramkan Jiwa
2.     Mewujudkan (Melestarikan)Turunan
3.     Memenuhi Kebutuhan Biologis
4.     Latihan Memiliki Tanggung Jawab
Perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim terbagi menjadi:
1.      Perkawinan Pria Muslim Dengan Wanita Bukan Ahli Kitab
Perkawinan pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab, terbagi kepada:
a.       Perkawinan Dengan Wanita Musyrik
b.      Perkawinan Dengan Wanita Majusi
c.       Perkawinan Dengan Wanita Shabi’ah
d.      Perkawinan Dengan Wanita Penyembah Berhala

2.      Perkawinan Pria Muslim Dengan Wanita Ahli Kitab
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan wantia ahli kitab.
a.       Menurut pendapat Jumhur Ulama baik Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali, seorang muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berbeda dalam lindungan (kekuasaan) negara Islam (ahli Dzimmah).
b.      Golongan Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab.
Perkawinan wanita muslim dengan pria non muslim hukumnya haram.
DAFTAR PUSTAKA

Haji Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
M.  Ali Hasan, Masail Fiqiyah Pada Masalah-Masalah Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2003.


                [1] M.  Ali Hasan, Masail Fiqiyah Pada Masalah-Masalah Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hal.1-2
[2]  M. Ali Hasan, ibid, hal. 2-3
[3] M. Ali Hasan, ibid, hal. 3-4
[4] M. Ali Hasan, Ibid, hal. 5-4
[5] M. Ali Hasan, Ibid, hal. 6
[6] H. Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islama Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hal. 39
[7] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,(Jakarta: Gema Insani, 2003, hal. 258
[8] Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (jakarta: pt. Bumi aksara)
[9] M. Ali Hasan, Op.Cit, hal. 7
[10]  Haji Mahyuddin, Op,Cit, hal. 41
[11] M. Ali Hasan, Op.Cit. hal. 8-9
[12] M. Ali. Hasan, Ibid, hal. 9-10
[13] M. Ali Hasan. Ibid, hal. 10-11
[14] M. Ali Hasan, Ibid,hal. 11-13
[15]  Setiawan Budi Utomo, Op,Cit, hal. 261
[16] Setiawan Budi Utomo, Ibid,  hal.258-259

Tidak ada komentar:

Posting Komentar