BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum
pernikahan beda agama, atau biasa juga dikenal dengan pernikahan lintas agama.
Selalu menjadi polemik yang cukup kontroversial dalam masyarakat, khususnya
negara yang memiliki berbagai macam penduduk dengan agama yang berbeda-beda.
Indonesia
merupakan negara mayoritas muslim terbanyak di seluruh dunia, namun tetap saja
sering muncul pertanyaan menyangkut perihal pernikahan. Bolehkah seorang muslim
menikahi seorang yang non muslim jika boleh, bagaimana islam menyikapi hal
tersebut?
Mari kita
lihat dari dua sudut pandang pada hukum pernikahan berbeda agama ini terlebih
dahulu. Pernikahan beda agama, dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan pasangan
yang menikah, yaitu: seorang laki-laki muslim menikahi perempuan dan
sebaliknya, seorang muslim perempuan yang menikahi seorang laki-laki yang non
muslim, pembagian ini dilakukan karena hukum di antaranya masing-masing
berbeda. Bagaimanakah hukumnya dalam islam?
B. RUMUSAN MASALAH
- Bagaiamanakah hukum pernikahan antar agama
- Bagaimanakah hukum perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim
- Bagaimanakah hukum perkawinan wanita muslim dengan pria non muslim?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PERNIKAHAN (PERKAWINAN)
Secara
etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan”. Ada pula yang mengartikan
“perjanjian” (Al-Aqdu).
Secara
terminologi pernikahan menurut Abu Hanifah adalah: “aqad yang dikukuhkan untuk
memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja”.
Pengukuhan
disini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan pembuat
Syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua orang yang saling
membuat ‘aqad (perjanjian) bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan
semata.
Menurut
mazhab Maliki, pernikahan adalah: “aqad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan
dari wanita”.
Dengan
aqad tersebut seseorang akan terhindar dari perbuatan haram (zina). menurut
mazhab Syafi’i perikahan adalah: ”aqad yang menjamin diperbolehkan
persetubuhan”.
Sedangkan
menurut mazhab Hambali adalah: “aqad yang didalamnya terdapat lafadz pernikahan
secara jelas, agar diperbolehkan bercampur”.
Kalau
kita perhatikan keempat definisi tersebut jelas, bahwa yang menjadi ini pokok
pernikahan itu adalah aqad (perjanjian) yaitu serah terima anatara orang tua
calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria. Penyerahan dan penerimaan
tanggung jawab dalam arti yang luas, telah terjadi pada saat ‘aqad nikah itu,
disamping penghalalan bercampur keduanya sebagai suami istri. [1]
B. TUJUAN PERKAWINAN
1. Menentramkan jiwa
Allah menciptakan
hambanya hidup berpasangan dan tidak hanya manusia saja, tetapi juga hewan dan
tumbuh-tumbuhan. Hal itu adalah sesuatu yang alami, yaitu pria tertarik kepada
wanita dan begitu pula sebaliknya.
Bila sudah terjadi akad
nikah, si wanita merasa jiwanya tentram, karena merasa ada yang melindungi dan
ada yang bertanggung jawab dalam rumah tangga.
Si suami pun meraa tentram karena
ada pendamping untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpuhkan perasaan suka
dan duka, dan teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan. Allah
berfirman:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Ar-Rum: 21)[2].
2. Mewujudkan (Melestarikan Keturunan)
Biasanya sepasang suami istri tidak
ada yang tidak mendambakan anak keturunana untuk meneruskan kelangsungan hidup.
Anak turunan diharapakan dapat mengambil alih tugas, perjuangan dan ide-ide
ayng pernah tertanam di dalam jiwa suami atau istri. Fitrah yang sudah ada
dalam diri manusia ini diungkapkan oleh Allah dalam firmannya;
ª!$#ur @yèy_ Nä3s9 ô`ÏiB ö/ä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& @yèy_ur Nä3s9 ô`ÏiB Nà6Å_ºurør& tûüÏZt/ Zoyxÿymur Nä3s%yuur z`ÏiB ÏM»t6Íh©Ü9$# ...
Allah
menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu
rezki dari yang baik-baik. ...(An-Nur: 72)
Berdasarkan
ayat tersebut jelas, bahwa Allah menciptakkan manusia ini berpasang-pasangan
supaya berkembang mengisi bumi ini dan memakmurkannya. Atas kehendak Allah naluri
manusia pun menginginkan demikian[3].
3. Memenuhi Kebutuhan Biologis
Hampir semua manusia
yang sehat jasmani dan rohaninya, menginginkan hubungan seks. Bahkan dunia
hewan pun berperilaku demikian. Keinginan demikian adalah alami, tidak usah
dibendung dan dilarang.
Pemenuhan kebutuhan
biologis itu harus diatur melalui lembaga perkawinan, supaya tidak terjadi
penyimpangan, tidak lepas bebas begitu saja sehingga norma-norma adat-istiadat
dan agama dilanggar.
Kecenderungan cinta lawan jenis dan
hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia atas kehendak Allah.
Kalau tidak ada kecenderungan dan keinginan untuk itu, tentu manusia tidak akan
berkembang biak. Sedangkan Allah menghendaki demikian sebagaimana Firman-Nya:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(An-Nisa:
1).
Dari
ayat tersebut di atas dapat dipahami, bahwa tuntutan pengembangbiakan dan
tuntutan biologis telah dapat terpenuhi sekaligus[4].
4. Latihan Memikul Tanggung Jawab
Pada dasarnya, Allah menciptakan
manusia di dalam kehidupan ini, tidak hanya untuk sekedar makan, minum, hidup
kemudian mati seperti yang dialami oleh makhluk lainnya. Lebih jauh lagi,
manusia diciptakan supaya berfikir, menentukan, mengatur, mengurus segala
persoalan, mencari dan memberi manfaat untuk umat.
Sesuai yang dimaksud penciptaan
manusia dengan segala keistimewaan berkarya, maka manusia itu tidak pantas
bebas dari tanggung jawab. Manusia bertanggung jawab dalam keluarga ,
masyarakat dan negara. Latihan itu pula dimulai dari ruang lingkup yag terkecil
lebih dahulu (keluarga), kemudian baru meningkat kepada yang lebih luas lagi[5].
C. PERKAWINAN ANTAR AGAMA
Perkawinan
antar agama, dapat diartikan sebagai perkawinan dua insan yang berbeda agama,
kepercayaan atau paham[6].
Perkawinan
orang Islam (pria/wanita) dengan orang non-Islam (pria/wanita) lazimnya disebut
perkawinan antar agama, lintas agama atau beda agama. Perkawinan beda agama
yang dimaksud ini dapat terjadi antara: (1)calon istri beragama dan calon suami
tidak beragama Islam, baik dari kalangan ahlul kitab maupun umat musyrik; (2)
calon suami beragama islam dan calon istri tidak beragama islam, baik dari
kalangan ahlul kitab maupun umat musyrik.[7]
Di
dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan antar agama
tidak diatur, karena perkawinan tersebut tidak dibenarkan ajaran agama,
yaituada halangan terjadinya perkawinan bagi calon suami, calon istri berbeda
agama, hal ini sesuai dengan yang dikehendaki pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 Undang-Undang
Perkawinan.
Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan:
Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
Pasal
2 undang-undang Perkawinan ini terang menunjukkan paling pertama kepada hukum
masing-masing agama dan kepercayaaannya bagi masing-masing pemeluknya.
Sedangkan menurut penjelasan pasal 2 itu. Tidak ada perkawinan diuar hukum
masing-masing agamanaya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945[8].
D. PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA NON MUSLIM
- Perkawinan Pria Muslim Dengan Wanita Bukan Ahli Kitab
Perkawinan pria muslim dengan wanita bukan
ahli kitab, terbagi kepada:
a. Perkawinan
Dengan Wanita Musyrik
Agama Islam tidak memperkenankan pria muslim kawin
dengan wanita musyrik[9],
sebagaiamana diharamkannya; begitu juga halnya mengawini perempuan atheis
(mulhid) kecuali bila ia masuk baru dihalalkan oleh Agama[10].
Sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& ....
Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu...(Al-Baqarah: 221).
b. Perkawinan
Dengan Wanita Majusi
Pria muslim juga tidak diperbolehkan
mengawini wanita Majusi (penyembah api), sebab mereka tidak termasuk ahli
kitab. Demikian pendapat Jumhur Ulama, dan yang dimaksud dengan ahli kitab
adalah Yahudi dan Nashara.
Sedangkan golongan Zhahiriyah,memperbolehkan pria
muslim kawin dengan wanita Majusi karena orang-orang Majusi dimasukkan ke dalam
kelompok ahli kitab.
Disamping itu adalah ulama lain yang memperbolehkannya
karena menurut satu riwayat, bahwa Hudzaifah juga pernah kawin dengan wanita Majusi.
Demikian juga kepada orang-orang Majusi ditetapkan jizyah (pajak),
sehingga keberadaan mereka sama dengan orang Yahudi dan Nashara.
Dalam persoalan ini, yang dipandang paling tepat
alaha pendapat Jumhur Ulama, yaitu prian muslim tidak dibenarkan kawin dengan
wanita majusi, sebab mereka tidak termasuk ahli kitab, sebagaimana ditegaskan
dalam firman Allah:
br& (#þqä9qà)s? !$yJ¯RÎ) tAÌRé& Ü=»tGÅ3ø9$# 4n?tã Èû÷ütGxÿͬ!$sÛ `ÏB $uZÎ=ö7s% bÎ)ur $¨Zä. `tã öNÍkÉJy#uÏ úüÎ=Ïÿ»tós9 ÇÊÎÏÈ
(kami
turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan: "Bahwa kitab itu
hanya diturunkan kepada dua golongan[522] saja sebelum Kami, dan Sesungguhnya
Kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca. (Al-An’am: 156)[11].
c. Perkawinan
Dengan Wanita Shabi’ah
Shabiah adalah satu golongan dalam agama
Nasrani; Shabi’ah dinisbatkan kepada shab paman Nabi Nuh AS. Ada pula yang
berpendapat, dinamakan shabi’ah, karena berpindah dari satu agama kepada agama
lain.
Ibnul Hammam mengatakan, bahwa
orang-orang Shabi’ah adalah golonga yang memadukan antara agama Yahudi dan Nasrani.
Mereka menyembah bintang-bintang. Dalam berbagai buku hadits disebutkan bahwa
mereka termasuk golongan ahli kitab.
Ibnu Qudamah berkata: “para ulama
berbeda pendapat tentang orang-orang Shabi’ah. Menurut riiwayat Ahmad, bahwa
mereka adalah orang-orang Nasrani. Tetapi di tempat lain ia berkata: ”pernah ku
dengar bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari sabtu.
Jadi mereka termasuk orang-orang Yahudi?
Menurut riwayat Umar, bahwa mereka
adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari sabtu. Sedangkan Mujahid menganggap,
mereka nerada diantara agama yahudi dan nasrani.
Imam Syafi’i mengambil jalan tengah,
yaitu apabila lebih mendekati keyakinan mereka kepada slah satu agama (yahudi atau
nasrani), maka orang tersebut termasuk golongan agma itu. Bila tidak mendekati kepada
keduanya itu, berarti orang itu bukan ahli kitab.
Dari uraian diatas dapat dipahami, bahwa
para Ulama berpendapat, ada yang mengatakan termasuk ahli kitab ada pula yang
mengatakan tidak.
Abu Hanifah berpendapat boleh kawin
dengan wanita Shabi’ah, sedangkan Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan Syaibani,
tidak memperbolehkannya, karena mereka penyembah patung-patung san
bintang-bintang. Pendapat mazhab malik juga sejalan dengan pendapat ini.
Mazhab Syafi’i dan Hambali membuat garis
pembatas dalam masalah ini. Jika merkea meyerupai orang-orang yahudi dan Nasrani
dalam prinsip-prinsip agamanya, maka wanita Shabi’ah itu boleh dikawini. Tetapi
bila berbeda dalam hal-hal prinsip berarti mereka termasuk golongan Yahudi atau
Nasrani dan berarti pula, bahwa wanita Shabi’ah itu tidak boleh dikawini oleh
pria muslim[12].
d. Perkawinan
Dengan Wanita Penyembah Berhala
Para ulama telah sepakat, bahwa pria muslim
tidak boleh kawin dengan wanita penyembah berhala dan penyembah benda-benda
lainnya, karena mereka termasuk orang-orang kafir, sebagaiman Firman Allah:
wur.... (#qä3Å¡ôJè? ÄN|ÁÏèÎ/ ÌÏù#uqs3ø9$# .....
....dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir;
... (Al-Mumtahanah:
10)
Pada
ayat lain Allah berfirman:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã ....
Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
(Al-Baqarah: 221)[13].
2.
Perkawinan Pria Muslim Dengan Wanita Ahli Kitab
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum perkawinan pria muslim dengan wantia ahli kitab.
a. Menurut
pendapat Jumhur Ulama baik Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali, seorang
muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berbeda dalam
lindungan (kekuasaan) negara Islam (ahli Dzimmah).
b. Golongan
Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat, bahwa pria muslim tidak boleh
kawin dengan wanita ahli kitab.
Golongan pertama (Jumhur Ulama)
mendasarkan pendapat mereka kepaa beberapa dalil:
a. Firman
Allah yang berbunyi:
tPöquø9$# ¨@Ïmé& ãNä3s9 àM»t6Íh©Ü9$# ( ãP$yèsÛur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# @@Ïm ö/ä3©9 öNä3ãB$yèsÛur @@Ïm öNçl°; ( àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB ÏM»oYÏB÷sßJø9$# àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% ...
Pada
hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang
yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi
mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu..
(Al-Maidah: 5).
b. Diantara
sahabat adapula yang kawin dengan ahli kitab seperti Usman bin Affan mengawini Na’ilah
binti Al-Gharamidah seorang beragana Nasrani, yang kemudian masuk Islam.
Demikian juga Hudzaifah mengawini wanita Yahudi dari penduduk Madain.
c. Jabir
ra. Pernah ditanya tentang perkawinan pria muslim dengan wanita Yahudi atau Nasrani:
beliau menjawab: “kami pun pernah menikah dengan mereka pada waktu penklukan Kufah
bersama-sama dengan Sa’ad bin Abi Waqqash”.
Golongan kedua (syi’ah), melandaskan
pendapatnya pada beberapa dalil:
a. Firman
Allah:
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã ...
Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman... (Al-Baqarah:
221)
Golongan ini berpendapat, bahwa
wanita-wanita ahli kitab itu termasuk kafir, karena wanita-wanita ahli kitab
itu telah musyrik (menyekutukan Allah) berdasarkan riwayat Ibnu Umar, bahwa
beliau pernah ditanya tentang hukum mengawini wanita Yahudi dan Nasrani. beliau
menjawab: “sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang
mukmin, saya tidak mengetaui kemusyrikan yang lebih besar daripada anggapan
seorang wanita (Nasrani), bahwa tuhannya adalah Isa. Padahal Isa hanya seorang
manusia dari hamba Allah”.
Kemudian dikalangan Jumhur Ulama yang
membolehkan kawin dengan ahli kitab, juga berbeda pendapat.
1. Sebagian
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, mengatakan, bahwa hukum perkawinan
itu makruh.
2. Menurut
pendapat sebagian mazhab Maliki, Ibnul Qasim, Khalil bahwa perkawinan itu
diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat Malik.
3. Az-Zarkasyi
(mazhab Syafi’i) mengatakan bahwa pernikahan itu disunatkan, apabila wanita
ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam[14].
Diantara hikmah yang dikemukakan oleh
para ulama yang membolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita kristen atau
yahudi karena pada mula dan hakikatnya agama kristen dan Yahudi itu satu rumpun
dengan agama islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka,
kalau seorang wanita Kristen atau Yahudi nikah dengan pria muslim yang baik,
taat dan kuat imannya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri
wanita itu masuk islam. Karena, ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan
kesempurnaan agama islam setelah ia hidup ditengah keluarga islam. Sebab, agama
islam mengajarkan konsep dan pedoman hidup yang lengkap, mudah, toleran,
fleksibel, demokratis, dll.
Karena itu, cukup bijaksana dan suatu
ketetapan yang arif bahwa agama islam pada dasarnya melarang pernikahan muslim
dengan muslimah dengan bukan penganut islam, kecuali dalam kondisi tertentu
yang ditolerir syariat, pria muslim yang kualitas dan kadar iman dan islamnya
cukup mantap, diperkenakan kawin dengan wanita Ahlul Kitab yang akidah dan
praktik ibadahnya tidak menyimpang jauh dari islam atau yang bukan dari
kalangan aktis fanatik dari agama Ahlul Kitab dengan disertai tujuan visi,
misi, dan usaha serius untuk membawa pasangannya kedalam islam. Fakta-fakta
menunjukkan sebagaimana dikemukakan oleh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam Hikmah
at-Tasyri’ wa falsafatuhu (1931) bahwa wanita-wanita barat dan timur yang nikah
dengan pria muslim yang baik dan taat pada ajaran agamanya, pada akhirnya dapat
terbuka hatinya dan atas kesadaran sendiri masuk Islam[15].
E. PERKAWINAN WANITA MUSLIM DENGAN PRIA NON MUSLIM
Apabila
perkawinan beda agama terjadi antara perempuan yang beragama islam dan
laki-laki yang tidak beragama islam, baik calon suami termasuk pemeluk agama
yang mempunyai kitab suci seperti yahudi dan nasrani yang disebut ahlul kitab,
maupun pemeluk agama lainnya yang
mempunyai kitab ajaran serupa kitab suci, seperti budha, hindu, maupun
pemeluk agama ataupun kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab
yang serupa kitab suci termasuk disini para penganut aliran kepercayaan,
kebatinan, maka para ulama sepakat hukumnya haram dan tidak sah
berdasarkan firman allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 221. Disamping itu
juga,berdasarkan ijma’ (menurut hasi konsensus ulama) yang melarang perkawinan
wanita muslimah dengan pria non muslim apapun agama dan kepercayaannya.
Diantara
hikmah yang dikemukakan sebagai pendukung alasan diharamkannya perkawinan
tersebut adalah dikhawatirkan wanita islam itu kehikangan kebebasan beragama
dan karena lemah pendiriannya sehingga dapat mudah terseret untuk murtad
mengikuti agama suaminya. Demikian pula anak keturunan yang lahir dari hasil
perkawinannya dikhawatirkan akan mengikuti agama bapaknya karena posisis
dominan dan otoritas bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak melebihi
ibunya. Dalam hal ini, fakta-fakta sejarah menunjukkan adanya bahaya aksi
permutadan dalam proses islamisasi sert konfersi agama mealui jalur perkawinan
ini, terutama yang banyak terjadi korban adalah para wanita muslimah[16].
BAB III
KESIMPULAN
Pernikahan
itu adalah aqad (perjanjian) yaitu serah terima anatara orang tua calon
mempelai wabiata dengan calon mempelai pria. Penyerahan dan penerimaan tanggung
jawab dalam arti yang luas, telah terjadi pada saat ‘aqad nikah itu, disamping
penghalalan bercampur keduanya sebagai suami istri.
Tujuan perkawinan adalah sebagai berikut:
1.
Menentramkan
Jiwa
2.
Mewujudkan
(Melestarikan)Turunan
3.
Memenuhi
Kebutuhan Biologis
4.
Latihan
Memiliki Tanggung Jawab
Perkawinan
pria muslim dengan wanita non muslim terbagi menjadi:
1. Perkawinan
Pria Muslim Dengan Wanita Bukan Ahli Kitab
Perkawinan pria muslim dengan wanita
bukan ahli kitab, terbagi kepada:
a. Perkawinan
Dengan Wanita Musyrik
b. Perkawinan
Dengan Wanita Majusi
c. Perkawinan
Dengan Wanita Shabi’ah
d. Perkawinan
Dengan Wanita Penyembah Berhala
2.
Perkawinan Pria Muslim Dengan Wanita Ahli Kitab
Para ulama berbeda pendapat mengenai
hukum perkawinan pria muslim dengan wantia ahli kitab.
a. Menurut
pendapat Jumhur Ulama baik Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali, seorang
muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berbeda dalam
lindungan (kekuasaan) negara Islam (ahli Dzimmah).
b. Golongan
Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat, bahwa pria muslim tidak boleh
kawin dengan wanita ahli kitab.
Perkawinan
wanita muslim dengan pria non muslim hukumnya haram.
DAFTAR PUSTAKA
Haji Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah,
Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
M. Ali Hasan, Masail Fiqiyah Pada Masalah-Masalah Hukum
Islam Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Mohammad Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara
Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah
Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2003.
[2] M. Ali Hasan, ibid, hal. 2-3
[3] M. Ali
Hasan, ibid, hal. 3-4
[4] M. Ali
Hasan, Ibid, hal. 5-4
[5] M. Ali
Hasan, Ibid, hal. 6
[6] H. Mahyuddin, Masailul
Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islama Masa Kini, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2003), hal. 39
[7] Setiawan Budi Utomo, Fiqih
Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer,(Jakarta: Gema Insani, 2003, hal.
258
[8] Mohammad
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (jakarta: pt. Bumi aksara)
[9] M. Ali Hasan,
Op.Cit, hal. 7
[10] Haji Mahyuddin, Op,Cit, hal. 41
[11] M. Ali
Hasan, Op.Cit. hal. 8-9
[12] M. Ali.
Hasan, Ibid, hal. 9-10
[13] M. Ali
Hasan. Ibid, hal. 10-11
[14] M. Ali
Hasan, Ibid,hal. 11-13
[15] Setiawan Budi Utomo, Op,Cit, hal. 261
[16]
Setiawan Budi Utomo, Ibid, hal.258-259
Tidak ada komentar:
Posting Komentar