Rabu, 06 Februari 2013

KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Terdapat sejumlah pemikiran yang melatar belakangi perlunya mengkaji Paradigma Nilai Pendidikan Karakter dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis, sebagai berikut.
Pertama, kehidupan masyarakat Indonesia saat ini pada umumnya terasa kurang nyaman, kacau balau dan kurang tertib, sebagai akibat dari semakin meningkatnya perilaku manusia yang melakukan berbagai tindakan yang merugikan sesama.
Kedua, pendidikan agama yang berlangsung selama ini dilaksanakan pada berbagai lembaga pendidikan Islam terasa kurang efektif dalam membina karakter umat. Pendidikan agama terjebak kepada upaya pemberian pengetahuan tentang nilai-nilai agama secara kognitif semata, tanpa disertai dengan penghayatan dan pengamalan yang didukung oleh semua pihak: rumah (orang tua), sekolah (guru) dan masyarakat.
Ketiga, pendidikan karakter (character building) yang dilaksanakan pemerintah melalui pendidikan formal (sekolah) dalam rangka menghasilkan warga Negara yang memiliki rasa cinta tanah air (nasionalisme), semangat berkorban untuk bangsa dan Negara (patriotisme) ,serta cinta terhadap nilai-nilai budaya bangsa, adab, sopan santun tanpak tidak efektif lagi.
Keempat,selama ini telah ada gagasan dan pemikiran untuk membangun kembali daya tahan bangsa dan Negara melalui penguatan pendidikan karakter.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, makalah ini akan mengkaji masalah hancurnya pilar-pilar pendidikan karakter dan paradigm nilai pendidikan karakter dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis. Berbagai aspek yang terkait dengan pendidikan karakter sepanjang yang dapat dirujuk pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah akan dikaji dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
HANCURNYA PILAR-PILAR PENDIDIKAN KARAKTER DAN PARADIGMA NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS
A.      HANCURNYA PILAR-PILAR PENDIDIKAN KARAKTER
1.      Pengertian
Pendidikan karakter pada hakikatnya adalah sebuah perjuangan bagi setiap individu untuk menghayati kebebasannya dalam relasi mereka dengan orang lain dan lingkungannya, sehingga ia dpat semkain mengukuhkan dirinya sebagai pribadi yang unik dan khas serta memiliki integritas moral yang dapat dipertanggung jawabkan.[1]
Pengertian pendidikan karakter tersebut selain sejalan dengan pengertian karakter itu sendiri, yakni sebagai cetak biru, format dasar, sidik jari, sesuatu yang khas dan chemistry, juga merupakan struktur antropologi manusia; karena disanalah manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur ontropologis ini melihat bahwa karakter  bukan sekadar hasil dari sebuah tindakan, melainkan secara struktur merupakan hasil dan proses. Menurut Doni Koesoema A., (2007: 3) dinamika ini menjadi semacam dialektika terus-menerus dalam diri manusia untuk menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya.[2]
Lebih lanjut pendidikan karakter juga terkait dengan tiga matra pendidikan, yaitu pendidikan individual, pendidikan social dan pendidikan moral. Selanjutnya pendidikan social terkait dengan kemampuan mnusia dalam membangun hubungan dengan manusia dan lembaga lain secara harmonis dan funngsional yang selanjutnya menjadi cermin kebebasannya dalam mengorganisasi dirinya.
Dengan demikian, karakter yang dihasilkan melalui tiga matra pendidikan tersebut merupakan kondisi dinamis dari struktur antropologi individu, yaitu individu yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratnya, melaikan juga sebuah uusaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya, dan proses penyempurnaan dirinya secara terus-menerus. Pendidikan karakter dalam arti yang demikian itu, menurut Ahmad Amin, dalam etika (1983:143) adalah pendidikan yang sejak lama telah diperjuangkan oleh para filusuf, ahli pikir, bahkan para Rosul utusan Tuhan. Yaitu pendidikan karakter yang bersifat integral, holistik, dinamis, komprehensif dan terus-menerus hingga terbentuk sosok manusia yang terbina seluruh potensi dirinya, serta memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk mengekspresikan dalam seluruh aspek kehidupan.[3]
Dalam pendidikan agama memberikan sumbangan bagi pendidikan karakter dalam hal menanamkan fondasi yang lebih kokoh, kemertabatan yang paling luhur, kekayaan yang paling tinggi dan sumber kedamaian manusia yang paling dalam. Pendidikan agama berperan amat penting dibandingkan pendidikan moral dan nilai sebagaimana tersebut di atas, dalam hal mempersatukan diri manusia dengan realitas terakhir yang lebih tinggi, yaitu Tuhan Sang Pencipta yang menjadi fondasi kehidupan manusia. Pendidikan agama yang memberikan sumbangan bagi pendidikan karakter tesebut, menurut Nurcholis Madjid, dalam membangun kembali Indonesia, (2004: 39), adalah pendidikan agama yang tidak hanya berhenti pada sebatas simbol-simbol dan pelaksanaan ritualistic. Melaikan pendidikan agama yang mampu mengajak peserta didik untuk mampu menangkap makna hakiki yang ada di baliknya.[4]
Pendidikan karakter yang ditopang oleh pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan sama-sama membantu siswa untuk tumbuh secara lebih matang dan kaya, baik sebagai individu, maupun sebagai makhluk social dalam konteks kehidupan bersama.
2.      Pilar-pilar Pendidikan Moral
Berbagai kenyataan dan realitas yang menjadi penghambat bagi terlasananya pendidikan moral, pendidikan nilai pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan sebagai pilar-pilar pendukung pendidikan karakter tersebut kian hari tampak semakin parah dan lemah.
Realisasi pendidikan karakter tersebut juga harus ditopang oleh tiga pilar utama lembaga pendidikan, yaitu rumah tangga, sekolah dan masyarakat (negara). Pendidikan dirumah tangga dilakukan oleh orang tua dan anggota keluarga terdekat lainnya dengan dasar tanggung jawab moral keagamaan, yakni menganggap bahwa anak sebagai titipan dan amanah Tuhan yang harus dipertanggung jawabkan. Dilihat dari segi kecenderungannya, ada orang tua yang menginginkan anaknya dididik dalam konteks lingkungan yang multicultural, ada pula orang tua yang ingin anaknya dididik dengan pendidikan yang diterimanya dirumah dan ada pula orang tua yang tidak puas dengan pelayanan penddidikan yang diberikan oleh sekolah, sehingga mereka menginginkan sebuah pendidikan alternatif yang selanjutnya dikenal dengan home schooling dan sebagainya.
Bertolak dari berbagai kekurangan yang dimiliki orang tua di rumah, maka pendidikan karakter selanjutnya diserahkan kepada sekolah, dengan pertimbangan selain karena merupakan institusi yang dibangun dengan tugas utamanya mendidik karakter bangsa, juga disekolah terdapat infrastruktur, sarana prasarana, SDM, manajemen, system, dan lainnya yang berkaitan dengan urusan pendidikan. Budaya sekolah yang tidak baik, seperti kultur tidak jujur, menyontek, mengatrol nilai, manipulasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bisnis buku pelajaran yang merugikan siswa, tidak disiplin, kurang bertanggung jawab terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan, hingga pelecehan seks masih mewarnai lembaga pendidikan yang bernama sekolah ini. Akibat dari keadaan ini, maka seorang anak yang sebelum masuk sekolah terlihat jujur, taat beribadah, sopan dan santun, namun setelah tamat sekolah malah akhlak dan karakternya semakin merosot.[5]
Selanjutnya karena rumah tangga dan sekolah sebagai pilar-pilar utama bagi pendidikan karakter tersebut sudah kurang efektif lagi, bahkan sudah hancur, maka pemerintah dan masyarakat juga harus bertanggung jawab, otoritas, dana, fasilitas, sumber daya manusia dan system yang dimilikinya, pemerintah memiliki peluang yang lebih besar untuk menyelenggarakan pendidikan karakter  bangsa. Namun demikian, pilar pemerintah ini pun dalam keadaan rapuh dan tidak efektif. Banyaknya pejabat pemerintah mulai dari atas sampai bawah, mulai dari pusat sampai kedaerah yang terlibat dalam tindak korupsi, penyalahgunaan jabatan dan wewenang yang berdampak pada kerusakan lingkungan, serta adanya sejumlah kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat kecil, serta pola hidup foya-foya, menyebabkan bagi pendidikan karakter  menjadi amat merosot.


B.       Paradigma Nilai Pendidikan Karakter dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis
1.      Pengertian dan Tujuan Pendidikan Karakater
Secara harfiah, karakter berasal dari bahasa Inggris, character yang berarti watak, karakter, atau sifat.Dalam bahasa Indonesia, watak diartikan sebagai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya, dan berarti pula tabi’at, dan budi pekerti. Selanjutnya, jika ada ungkapan pendidikan karakter, maka yang dimaksud adalah upaya mempengaruhi segenap pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian.Sedangkan yang dimaksud sifat dengan sifat adalah rupa dan keadaan yang tampak pada sesuatu benda. Selanjutnya kata pendidikan secara umum adalah upaya memengaruhi orang lain agar berubah pola piker, ucapan, perbuatan, sifat dan wataknya sesuai dengan tujuan yang diharapkan.[6]
Dalam bahasa Arab karakter sering disebut dengan istilah akhlak yang oleh Ibnu Maskawaih diartikan sebagai: hal linnafs da’iyah laha ila af’aliha min ghair fikrin wa laa ruwiyatin. Artinya sifat atau keadaan yang tertanam dalam jiwa yang paling dalam yang selanjutnya lahir dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi.
Karakter merupakan struktur antropologis manusia, disanalah manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya.
Dengan demikian, pendidikan karakter bukan hanya sekadar memberikan pengertian atau definisi-definisi tentang yang baik dan yang buruk, melainkan sebagai upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan batin manusia sesuai dengan nilai-nlai yang dianggap luhur dan terpuji.
Pengertian pendidikan karakter yang demikian itu jika dihubungkan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tampak memiliki berbagai kesamaan. Di dalam Al-Qur’an kata-kata karakter dalam arti sifat, tabi’at dan sikap batin sebagaimana tersebut diatas mirip dengan pengertian akhlaq yang jamaknya khuluq. Di dalam Al-Qur’an misalnya terdapat ayat yang artinya:Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Q.S Al-Qalam,68:4).[7]
Ketika menjelaskan tentang karakter, Al-Qur’an memperkenalkan sejumlah karakter yang buruk yang apabila orang mempraktikkannya akan berakibat kerugian dan kesengsaraan; dan karakter yang baik yang apabila orang mempraktikkannya akan mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan didunia dan akhirat.
Pendidikan karakter menurut Al-Qur’an lebih ditekankan pada membiasakan orang agar mempraktikkan dan mengamalkan nilai-nilai yang baik dan menjauhi nilai-nilai yang buruk dan ditujukan agr mengetahui tentang cara hidup, atau bagaimana seharusnya hidup; karakter (akhlak) menjawab pertanyaan manusia tentang manakah hidup yang baik bagi manusia, dan bagaimanakah seharusnya berbuat, agar hidup memiliki nilai, kesucian, dan kemuliaan.[8]
2.      Kedudukan Pendidikan Karakter
Dari sejak awal kedatangan dan keberadaannya, AL-Qur’an dan Hadist memberikan perhatian yang besar terhadap pendididkan karakter. Kedudukan pendidikan karakter menurut Al-Qur’an dapat pula dilihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an tersebut yang berkaitan dengan akhlak. Menurut hasil penelitian Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani bahwa didalam Al-Qur’an terdapat sebanyak 1.504 yang berhubungan dengan akhlak, baik dari segi teori atau dari segi praktis. Dengan kata lain, bahwa seperempat ayat Al-Qur’an berkenaan dengan akhlak. [9]
Selanjutnya ajaran islam tentang ibadah yang terdapat didalam Al-Qur’an selalu berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Didalam hadist juga terdapat peringatan Rasulullah SAW tentang pentingnya shalat yang menghasilkan aklak mulia. Misalnya hadist yang artinya:”Shalat yang tidak menjauhkan pelakunya dari kelakuan tidak senonoh dan perbuatan jahat, bukanlah shalat.” Demikian pula tentang ajaran puasa diharapkan agar manusia menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah, meninggalkan kata-kata bohong, dusta dan yang tidak ada gunanya.  ibadah haji yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an, di dalamnya juga terdapat nilai-nilai penddikan karakter, yaitu menjauhkan diri dari perkataan tidak senonoh, melanggar larangan Allah, dan bertengkar. Demikian pula perintah zakat sebagai mana yang terdapat didalam Al-Qur’an juga berkaitan dengan upaya membersihkan diri dari akhlak yang tercela, serta membangun solidaritas dan persaudaraan sesama manusia.
Selanjutnya berbagai kisah yang terdapat didalam Al-Qur’an, juga dimaksudkan agar jadi peringatan dan bahan renungan untuk diambil hikmah yang terkandung didalamnya untuk perbaikan akhlak. Di dalam hadis Rosulullah SAW terdapat sejumalah tradisi yang harus dilakukan oleh kedua orang  tuanya atau anaknya, yaitu mulai dari memilih pasangan calon istri/suami yang saleh dan salehah, berdo’a ketika melakukan hubungan badan antara suami istri, banyak berdo’a dan melakukan amal saleh pada saat ibu sedang hamil, mengazani dan mengiqomati pada saat bayi lahir, memberi nama yang baik, mencukur rambutnya, mengakikahi, mengajarkan sopan santun, membaca Al-Qur’an dan membiasakan sholat berjamaah, berdisiplin, dan lain sebagainya, adalah merupakan bagian tradisi yang mengandung nialai-niali karakter. Didalam hadist juga dijumpai berbagai pesan dan ajaran dari Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang tingginya kedudukan nilai-nilai pendidikan karakter. Akhlak adalah wadah agama (al-khuluq lwi’au al-din); orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik dianatara kamu ialah yang paling baik terhadap istrinya.[10]

3.      Strategi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter sesungguhnya melibatkan pendidikan moral, pendidikan nilai, dan pendidikan agama. Stategi pendidikan karakter juga harus menggunakan tiga pilar utama pendidikan, yaitu rumah, sekolah, dan masyarakat, serta dengan mengguakan seluruh lokus pendidikan. Stategi pendidikan karakter menurut Al-Qur’an dan hadis mengunakan seluruh peluang dan kemungkinan yang sejaln dengan fitrah manusia. Selain itu, pendidikan karakter menurut Al-Qur’an juga mengakomodir berbagai hasil pikiran filososfis manusia yang telah melembaga dalam bentuk tradisi, adat istiadat, kebiasaan, keputusan, dan lain sebagainya.[11]













BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan karakter merupakan sebuah keniscayaan bagi keberlangsungan masa depan bangsa yang beradap, berbudaya, dan bermatabat. Dengan tercapainya pendidikan karakter akan menciptakan sebuah kehidupan yang semakin tertib, aman, nyaman, dan sejahtera.
Dan dari pemaparan materi diatas pendidikan karakter dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Nilai pendidikan karakter mendapat perhatian yang amat besar dari Al-Qur’an dan Hadis, karena merupakan nilai dan tujuan utama Al-Qur’an dan Hadis itu sendiri.
b.      Paradiqma nilai pendidikan karakter dalam persepektif Al-Qur’an dan Hadis dibangun diatas landasan hubungan yang seimbang.
c.       Paradiqma nilai pendidikan menurut persepektif Al-Qur’an dan Hadis juga dibangun atas dasar hubungan yang harmonis dan pengakuan yang tulus dengan berbagai hasil renungan filosofis umat manusia dimasa lalu.





[1] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2012), Hal, 149.
[2] Ibid, Hal. 149-150.
[3] Ibid, hal. 152.
[4] ibid, Hal. 152.
[5] Ibid, Hal. 154.
[6] Ibid, Hal. 164.
[7] Ibid, Hal. 166.
[8] Ibid, Hal. 167.
[9] Ibid, Hal. 170.
[10] Ibid, Hal. 175.
[11] Ibid, Hal. 178.

1 komentar: