BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Terdapat sejumlah
pemikiran yang melatar belakangi perlunya mengkaji Paradigma Nilai Pendidikan
Karakter dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis, sebagai berikut.
Pertama,
kehidupan masyarakat Indonesia saat ini pada umumnya terasa kurang nyaman,
kacau balau dan kurang tertib, sebagai akibat dari semakin meningkatnya
perilaku manusia yang melakukan berbagai tindakan yang merugikan sesama.
Kedua,
pendidikan agama yang berlangsung selama ini dilaksanakan pada berbagai lembaga
pendidikan Islam terasa kurang efektif dalam membina karakter umat. Pendidikan
agama terjebak kepada upaya pemberian pengetahuan tentang nilai-nilai agama
secara kognitif semata, tanpa disertai dengan penghayatan dan pengamalan yang
didukung oleh semua pihak: rumah (orang tua), sekolah (guru) dan masyarakat.
Ketiga,
pendidikan
karakter (character building) yang
dilaksanakan pemerintah melalui pendidikan formal (sekolah) dalam rangka
menghasilkan warga Negara yang memiliki rasa cinta tanah air (nasionalisme), semangat
berkorban untuk bangsa dan Negara (patriotisme) ,serta cinta terhadap
nilai-nilai budaya bangsa, adab, sopan santun tanpak tidak efektif lagi.
Keempat,selama
ini telah ada gagasan dan pemikiran untuk membangun kembali daya tahan bangsa
dan Negara melalui penguatan pendidikan karakter.
Berdasarkan
pemikiran tersebut di atas, makalah ini akan mengkaji masalah hancurnya
pilar-pilar pendidikan karakter dan paradigm nilai pendidikan karakter dalam
perspektif Al-Qur’an dan Hadis. Berbagai aspek yang terkait dengan pendidikan
karakter sepanjang yang dapat dirujuk pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah akan dikaji
dalam makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
HANCURNYA
PILAR-PILAR PENDIDIKAN KARAKTER DAN PARADIGMA NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS
A.
HANCURNYA
PILAR-PILAR PENDIDIKAN KARAKTER
1.
Pengertian
Pendidikan
karakter pada hakikatnya adalah sebuah perjuangan bagi setiap individu untuk
menghayati kebebasannya dalam relasi mereka dengan orang lain dan
lingkungannya, sehingga ia dpat semkain mengukuhkan dirinya sebagai pribadi
yang unik dan khas serta memiliki integritas moral yang dapat dipertanggung
jawabkan.[1]
Pengertian
pendidikan karakter tersebut selain sejalan dengan pengertian karakter itu
sendiri, yakni sebagai cetak biru, format dasar, sidik jari, sesuatu yang khas
dan chemistry, juga merupakan
struktur antropologi manusia; karena disanalah manusia menghayati kebebasannya
dan mengatasi keterbatasan dirinya. Struktur ontropologis ini melihat bahwa
karakter bukan sekadar hasil dari sebuah
tindakan, melainkan secara struktur merupakan hasil dan proses. Menurut Doni
Koesoema A., (2007: 3) dinamika ini menjadi semacam dialektika terus-menerus
dalam diri manusia untuk menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasannya.[2]
Lebih
lanjut pendidikan karakter juga terkait dengan tiga matra pendidikan, yaitu
pendidikan individual, pendidikan social dan pendidikan moral. Selanjutnya
pendidikan social terkait dengan kemampuan mnusia dalam membangun hubungan dengan
manusia dan lembaga lain secara harmonis dan funngsional yang selanjutnya
menjadi cermin kebebasannya dalam mengorganisasi dirinya.
Dengan
demikian, karakter yang dihasilkan melalui tiga matra pendidikan tersebut
merupakan kondisi dinamis dari struktur antropologi individu, yaitu individu
yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratnya, melaikan juga
sebuah uusaha hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam
dalam dirinya, dan proses penyempurnaan dirinya secara terus-menerus.
Pendidikan karakter dalam arti yang demikian itu, menurut Ahmad Amin, dalam
etika (1983:143) adalah pendidikan yang sejak lama telah diperjuangkan oleh
para filusuf, ahli pikir, bahkan para Rosul utusan Tuhan. Yaitu pendidikan
karakter yang bersifat integral, holistik, dinamis, komprehensif dan
terus-menerus hingga terbentuk sosok manusia yang terbina seluruh potensi
dirinya, serta memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk mengekspresikan
dalam seluruh aspek kehidupan.[3]
Dalam
pendidikan agama memberikan sumbangan bagi pendidikan karakter dalam hal
menanamkan fondasi yang lebih kokoh, kemertabatan yang paling luhur, kekayaan
yang paling tinggi dan sumber kedamaian manusia yang paling dalam. Pendidikan
agama berperan amat penting dibandingkan pendidikan moral dan nilai sebagaimana
tersebut di atas, dalam hal mempersatukan diri manusia dengan realitas terakhir
yang lebih tinggi, yaitu Tuhan Sang Pencipta yang menjadi fondasi kehidupan
manusia. Pendidikan agama yang memberikan sumbangan bagi pendidikan karakter
tesebut, menurut Nurcholis Madjid, dalam membangun
kembali Indonesia, (2004: 39), adalah
pendidikan agama yang tidak hanya berhenti pada sebatas simbol-simbol dan
pelaksanaan ritualistic. Melaikan pendidikan agama yang mampu mengajak peserta
didik untuk mampu menangkap makna hakiki yang ada di baliknya.[4]
Pendidikan
karakter yang ditopang oleh pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan
agama, dan pendidikan kewarganegaraan sama-sama membantu siswa untuk tumbuh
secara lebih matang dan kaya, baik sebagai individu, maupun sebagai makhluk
social dalam konteks kehidupan bersama.
2.
Pilar-pilar
Pendidikan Moral
Berbagai
kenyataan dan realitas yang menjadi penghambat bagi terlasananya pendidikan
moral, pendidikan nilai pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan sebagai
pilar-pilar pendukung pendidikan karakter tersebut kian hari tampak semakin
parah dan lemah.
Realisasi
pendidikan karakter tersebut juga harus ditopang oleh tiga pilar utama lembaga
pendidikan, yaitu rumah tangga, sekolah dan masyarakat (negara). Pendidikan
dirumah tangga dilakukan oleh orang tua dan anggota keluarga terdekat lainnya
dengan dasar tanggung jawab moral keagamaan, yakni menganggap bahwa anak
sebagai titipan dan amanah Tuhan yang harus dipertanggung jawabkan. Dilihat
dari segi kecenderungannya, ada orang tua yang menginginkan anaknya dididik
dalam konteks lingkungan yang multicultural, ada pula orang tua yang ingin
anaknya dididik dengan pendidikan yang diterimanya dirumah dan ada pula orang
tua yang tidak puas dengan pelayanan penddidikan yang diberikan oleh sekolah,
sehingga mereka menginginkan sebuah pendidikan alternatif yang selanjutnya
dikenal dengan home schooling dan sebagainya.
Bertolak
dari berbagai kekurangan yang dimiliki orang tua di rumah, maka pendidikan
karakter selanjutnya diserahkan kepada sekolah, dengan pertimbangan selain
karena merupakan institusi yang dibangun dengan tugas utamanya mendidik
karakter bangsa, juga disekolah terdapat infrastruktur, sarana prasarana, SDM,
manajemen, system, dan lainnya yang berkaitan dengan urusan pendidikan. Budaya
sekolah yang tidak baik, seperti kultur tidak jujur, menyontek, mengatrol
nilai, manipulasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bisnis buku pelajaran
yang merugikan siswa, tidak disiplin, kurang bertanggung jawab terhadap
kebersihan dan kesehatan lingkungan, hingga pelecehan seks masih mewarnai
lembaga pendidikan yang bernama sekolah ini. Akibat dari keadaan ini, maka
seorang anak yang sebelum masuk sekolah terlihat jujur, taat beribadah, sopan
dan santun, namun setelah tamat sekolah malah akhlak dan karakternya semakin
merosot.[5]
Selanjutnya
karena rumah tangga dan sekolah sebagai pilar-pilar utama bagi pendidikan karakter
tersebut sudah kurang efektif lagi, bahkan sudah hancur, maka pemerintah dan
masyarakat juga harus bertanggung jawab, otoritas, dana, fasilitas, sumber daya
manusia dan system yang dimilikinya, pemerintah memiliki peluang yang lebih
besar untuk menyelenggarakan pendidikan karakter bangsa. Namun demikian, pilar pemerintah ini
pun dalam keadaan rapuh dan tidak efektif. Banyaknya pejabat pemerintah mulai
dari atas sampai bawah, mulai dari pusat sampai kedaerah yang terlibat dalam
tindak korupsi, penyalahgunaan jabatan dan wewenang yang berdampak pada
kerusakan lingkungan, serta adanya sejumlah kebijakan yang dinilai tidak
berpihak kepada masyarakat kecil, serta pola hidup foya-foya, menyebabkan bagi
pendidikan karakter menjadi amat
merosot.
B.
Paradigma
Nilai Pendidikan Karakter dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis
1.
Pengertian
dan Tujuan Pendidikan Karakater
Secara harfiah, karakter berasal dari bahasa
Inggris, character yang berarti
watak, karakter, atau sifat.Dalam bahasa Indonesia, watak diartikan sebagai
sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya, dan
berarti pula tabi’at, dan budi pekerti. Selanjutnya, jika ada ungkapan
pendidikan karakter, maka yang dimaksud adalah upaya mempengaruhi segenap
pikiran dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi
pekerti, dan mempunyai kepribadian.Sedangkan yang dimaksud sifat dengan sifat
adalah rupa dan keadaan yang tampak pada sesuatu benda. Selanjutnya kata
pendidikan secara umum adalah upaya memengaruhi orang lain agar berubah pola
piker, ucapan, perbuatan, sifat dan wataknya sesuai dengan tujuan yang
diharapkan.[6]
Dalam bahasa Arab karakter sering disebut dengan
istilah akhlak yang oleh Ibnu Maskawaih diartikan sebagai: hal linnafs da’iyah laha ila af’aliha min ghair fikrin wa laa
ruwiyatin. Artinya sifat atau keadaan yang tertanam dalam jiwa yang paling
dalam yang selanjutnya lahir dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan lagi.
Karakter merupakan struktur antropologis manusia,
disanalah manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya.
Dengan demikian, pendidikan karakter bukan hanya
sekadar memberikan pengertian atau definisi-definisi tentang yang baik dan yang
buruk, melainkan sebagai upaya mengubah sifat, watak, kepribadian dan keadaan
batin manusia sesuai dengan nilai-nlai yang dianggap luhur dan terpuji.
Pengertian pendidikan karakter yang demikian itu
jika dihubungkan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tampak memiliki berbagai
kesamaan. Di dalam Al-Qur’an kata-kata karakter dalam arti sifat, tabi’at dan
sikap batin sebagaimana tersebut diatas mirip dengan pengertian akhlaq yang jamaknya khuluq. Di dalam Al-Qur’an misalnya
terdapat ayat yang artinya:Dan
sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung. (Q.S
Al-Qalam,68:4).[7]
Ketika menjelaskan tentang karakter, Al-Qur’an
memperkenalkan sejumlah karakter yang buruk yang apabila orang mempraktikkannya
akan berakibat kerugian dan kesengsaraan; dan karakter yang baik yang apabila
orang mempraktikkannya akan mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan didunia
dan akhirat.
Pendidikan karakter menurut Al-Qur’an lebih
ditekankan pada membiasakan orang agar mempraktikkan dan mengamalkan
nilai-nilai yang baik dan menjauhi nilai-nilai yang buruk dan ditujukan agr
mengetahui tentang cara hidup, atau bagaimana seharusnya hidup; karakter
(akhlak) menjawab pertanyaan manusia tentang manakah hidup yang baik bagi
manusia, dan bagaimanakah seharusnya berbuat, agar hidup memiliki nilai,
kesucian, dan kemuliaan.[8]
2.
Kedudukan
Pendidikan Karakter
Dari sejak awal kedatangan dan
keberadaannya, AL-Qur’an dan Hadist memberikan perhatian yang besar terhadap
pendididkan karakter. Kedudukan pendidikan karakter menurut Al-Qur’an dapat
pula dilihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an tersebut yang berkaitan dengan
akhlak. Menurut hasil penelitian Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani bahwa
didalam Al-Qur’an terdapat sebanyak 1.504 yang berhubungan dengan akhlak, baik
dari segi teori atau dari segi praktis. Dengan kata lain, bahwa seperempat ayat
Al-Qur’an berkenaan dengan akhlak. [9]
Selanjutnya ajaran islam tentang ibadah
yang terdapat didalam Al-Qur’an selalu berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan
karakter. Didalam hadist juga terdapat peringatan Rasulullah SAW tentang
pentingnya shalat yang menghasilkan aklak mulia. Misalnya hadist yang artinya:”Shalat yang tidak menjauhkan pelakunya dari
kelakuan tidak senonoh dan perbuatan jahat, bukanlah shalat.” Demikian pula
tentang ajaran puasa diharapkan agar manusia menjadi orang yang bertaqwa kepada
Allah, meninggalkan kata-kata bohong, dusta dan yang tidak ada gunanya. ibadah haji yang diperintahkan Allah dalam
Al-Qur’an, di dalamnya juga terdapat nilai-nilai penddikan karakter, yaitu
menjauhkan diri dari perkataan tidak senonoh, melanggar larangan Allah, dan
bertengkar. Demikian pula perintah zakat sebagai mana yang terdapat didalam
Al-Qur’an juga berkaitan dengan upaya membersihkan diri dari akhlak yang
tercela, serta membangun solidaritas dan persaudaraan sesama manusia.
Selanjutnya berbagai kisah yang terdapat
didalam Al-Qur’an, juga dimaksudkan agar jadi peringatan dan bahan renungan untuk
diambil hikmah yang terkandung didalamnya untuk perbaikan akhlak. Di dalam
hadis Rosulullah SAW terdapat sejumalah tradisi yang harus dilakukan oleh kedua
orang tuanya atau anaknya, yaitu mulai
dari memilih pasangan calon istri/suami yang saleh dan salehah, berdo’a ketika
melakukan hubungan badan antara suami istri, banyak berdo’a dan melakukan amal
saleh pada saat ibu sedang hamil, mengazani dan mengiqomati pada saat bayi
lahir, memberi nama yang baik, mencukur rambutnya, mengakikahi, mengajarkan sopan
santun, membaca Al-Qur’an dan membiasakan sholat berjamaah, berdisiplin, dan
lain sebagainya, adalah merupakan bagian tradisi yang mengandung nialai-niali
karakter. Didalam hadist juga dijumpai berbagai pesan dan ajaran dari
Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang tingginya kedudukan nilai-nilai
pendidikan karakter. Akhlak adalah wadah agama (al-khuluq lwi’au al-din); orang-orang mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan yang paling baik dianatara kamu
ialah yang paling baik terhadap istrinya.[10]
3.
Strategi
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter sesungguhnya melibatkan
pendidikan moral, pendidikan nilai, dan pendidikan agama. Stategi pendidikan
karakter juga harus menggunakan tiga pilar utama pendidikan, yaitu rumah, sekolah,
dan masyarakat, serta dengan mengguakan seluruh lokus pendidikan. Stategi
pendidikan karakter menurut Al-Qur’an dan hadis mengunakan seluruh peluang dan
kemungkinan yang sejaln dengan fitrah manusia. Selain itu, pendidikan karakter
menurut Al-Qur’an juga mengakomodir berbagai hasil pikiran filososfis manusia
yang telah melembaga dalam bentuk tradisi, adat istiadat, kebiasaan, keputusan,
dan lain sebagainya.[11]
BAB
III
KESIMPULAN
Pendidikan karakter
merupakan sebuah keniscayaan bagi keberlangsungan masa depan bangsa yang
beradap, berbudaya, dan bermatabat. Dengan tercapainya pendidikan karakter akan
menciptakan sebuah kehidupan yang semakin tertib, aman, nyaman, dan sejahtera.
Dan dari pemaparan
materi diatas pendidikan karakter dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Nilai
pendidikan karakter mendapat perhatian yang amat besar dari Al-Qur’an dan Hadis,
karena merupakan nilai dan tujuan utama Al-Qur’an dan Hadis itu sendiri.
b. Paradiqma
nilai pendidikan karakter dalam persepektif Al-Qur’an dan Hadis dibangun diatas
landasan hubungan yang seimbang.
c. Paradiqma
nilai pendidikan menurut persepektif Al-Qur’an dan Hadis juga dibangun atas
dasar hubungan yang harmonis dan pengakuan yang tulus dengan berbagai hasil
renungan filosofis umat manusia dimasa lalu.
makasih atas infonya...
BalasHapus