Kamis, 04 April 2013

ADMINISTRASI PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN
Birokrasi adalah kekuasaan. Pengaruh dan para kepala dan staf biro pemerintahan, sejalan dengan itu ditegaskan Albrow (1989) birokrasi ialah suatu badan administrative tentang pejabat yang diangkat sesuai prosedur administrasi, aspek institusional dan asosiasonal yang mampu membedakan hal-hal spele tetapi penting karena akan menjadi dasar analisis pemikiran sosiologis untuk melakukan tindakan dan analisis kebijaksanaan.
Dan lebih lengkapnya akan dibahas lebih lanjut dalam bab II nanti, mengenai birokrasi dalam administrasi pendidikan dan administrasi sekolah dlam sistem administrasi pendidikan
.


BAB II
PEMBAHASAN
BIROKRASI DALAM ADMINISTRASI PENDIDIKAN DAN ADMINISTRASI SEKOLAH DLAM SISTEM ADMINISTRASI PENDIDIKAN
A.    BIROKRASI DALAM ADMINISTRASI PENDIDIKAN
1.      Elemen-Elemen Birokrasi Dan Kecenderungannya Di Sekolah
Birokrasi adalah kekuasaan. Pengaruh dan para kepala dan staf biro pemerintahan, sejalan dengan itu ditegaskan Albrow (1989) birokrasi ialah suatu badan administrative tentang pejabat yang diangkat sesuai prosedur administrasi, aspek institusional dan asosiasonal yang mampu membedakan hal-hal spele tetapi penting karena akan menjadi dasar analisis pemikiran sosiologis untuk melakukan tindakan dan analisis kebijaksanaan. Birokrasi menurut Weber (1947) dicirikan oleh (1) divisi pekerjaan dan alokasi tanggung jawab spesifik, (2) adanya level hierarkhi otoritas, (3) adanya kebijakan, peraturan, dan regulasi tertulis; (4) impersonal yaitu birokrasi ada pada lingkungan yang universal atau berlaku pada organisasi apapun, dan (5) pengembangan dan perpanjangan karier administrasi pendidikan baik dalam system pemerintahan maupun dalam system persekolahan.[1]
Esensi birokrasi menurut Sagala (2003:257) adalah pekerjaan menjalakan pemerintahan oleh orang-orang yang memerintahkan secara professional. Analisis mengenai birokrasi pendidikan bertitik tolak pada pembahsan konsep struktur organisasi tata kerja (STOK) khususnya pada biroksrasi Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota, partisipasi aparat pemerintah dalam menejemen pendidikan, dan alternative model-model struktur organisasi pelayanan pendidikan. Dinas Pendidikan mewadahi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) nya mengacu pada UU no. 22 tahun 19999 pasal 4 ayat 2 sebagai konsep yang mendasi SOTK Dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota menekan pada demokratisasi perluasan kesempatan belajar.[2]
Sasaran pendidikannya adalah meningkatkan kualitas lulusan melalui system pembelajaran yag lebih sempurna untuk menguasai IPTEK birokrasi memberikan keuntungan yaitu menciptakan keteraturan dan efisiensi bagi satuan pendidikan, dan kerugian yaitu kekakuan dan struktur organisasi yang impersonal, juga cenderung terlalu memandang organisasi semata-mata dalam struktur dalam struktur yang rasional. Kekuasaan dan wewenang merupakan produk dan monopoli birokrasi ataas segala kehidupan telah menciptakan kecenderungan internal brokratik ke arah cara kerja yang terlalu kaku dan sering kali menciptakan pelaksaan organisasi tidak efektif subtansi birokrasi kedinasan antara Dinas Pendidikan Provinsi dengan Kabupaten/Kota harus melalui kepala daerah, namun hal-hal terknis dapat langsung kepada unit kerja yang dimaksud.[3]
2.      Hubungan Antara Manusia Dalam Administrasi Pendidikan
Pada dasarnya Administrasi pendidikan memiliki kepentingan tertentu terhadap manusia. Manusia adalah makhluk psiko-fisik yang berkembang kearah kematangan secara integral dalam keseluruhan organ-organnya. Secara simultan. Fungsi-fungsi psikis dan fisiknya berkembang dalam suatu pola keseimbangan yang bersifat “homeostatis” yaitu terwujudnya kondisi kehidupan dalam diri manusia yang tetap berada dalam keselarasan dan keselarasan gerak dan fungsi-fungsi organ-organ psikis dan fisiknya. Factor manusia (humon factor) yang berhubungan dengan sumber daya manusia (SDM) mengandung makna mendalam atas semua potensinya, sehingga manusia tumbuh dan berkembang untuk mengatasi permasalahan manusia itu sendiri.
Salah satu permasalahn manusia adalah kualitas, yaitu kualitas manusia tampak pada kemampuannya secara fungsional untuk mendorong pertumbuhannya yang memilki nilai tambah. Oleh karena itu, membangun SDM adalah upaya-upaya untuk mengelola, mengurus, dan meningkatkan kualitasnya. Secara factual manusia itu oleh tuhan yang maha esa diberi tulang, dan tulang itu dibalut oleh daging, diberi mata, hidung, telinga, mulut, dan kelengkapan organ tubuh lainnya hingga sempurna.[4]
B.     ADMINISTRASI SEKOLAH DALAM SISTEM ADMINISTRASI PENDIDIKAN
1.      Manajemen Berbasis Sekolah
Reformasi sekolah atau school reform merupakan suatu konsep perubahan kearah peningkatan mutu dalam konteks manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Sekolah menurut direktorat pendidikan menengah umum (2002:1) adalah sebuah masyarakat kecil (mini society) yang menjadi wahana pengembangan siswa, bukan sebuah birokrasi yang sarat dengan beban-beban administrasi. Aktivitas di dalamnya adalah proses pelayanan jasa, bukan proses produksi barang. Murid adalah pelanggan (client) yang datang ke sekolah untuk mendapatkan pelayanan, bukan bahan mentah (raw input) yang akan dicetak menjadi barang setengah jadi atau barang jedi.[5]
Kepala sekolah, guru, konselor, dan tenaga kependidikan lain adalah tenaga professional yang terus menerus berinovasi untuk kemajuan sekolah, bukan birokrat yang sekedar patuh menjalankan petunjuk atasan mereka. Konsep sekolah sebagaimana dikemukakan di atas mengacu kepada konsep sekolah efektif, yaitu sekolah yang memilki profil yang kuat mandiri, inovatif dan memberikan iklim yang kondusif bagi warganya untuk mengembangkan sikap kritis, kreativitas, dan motivasi. Sekolah yang demikian memilki kerangka akuntabilitas yang kuat kepada siswa dan warganya memalui pemberian pelayanan yang bermutu, dan bukan semata-mata akuntabilitas pemerintahan melalui kepatuhannya menjalankan petunjuk.[6]
Konsep manajemen berbasisi sekolah  (MBS) dalam bahasa Inggris disebut “school based management” merupakan strategi yang jitu untuk mencapai manajemen yang efektif dan efesien.
Penataan sekolah melalui konsep MBS yang diartikan sebagai wujud dari informasi pendidikan, di arahkan untuk meredesain dan memodifikasi struktur pemerintah ke sekolah dengan konsep pemberdayaan sekolah. Focus pemberadayaan tersebut dimaksud untuk meningkatksn otonomi dan profesionalisme sekolah dalam bidang kependidikan yang pada gilirannya menjadi kualitas pendidikan.[7]
Model MBS ini adalah suatu ide dimana kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar, yakni sekolah sendiri. Konsep ini didasari pada “self determination theory” yang menyatakan bahwa apabila seseorang atau kelompok tersebut akan memilki tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan tersebut. Dalam pelaksanaan MBS tersirat adanya tugas sekolah untuk meninggkatkan mutu pendidikan menggunakan strategi yang lebih memberdayakan semua potensi sekolah secara optimal. Strategi pelaksanaannya menggunakan prinsip-prinsip menajemen dan perancang strategic, sehingga setiap sekolah akan kompetitif dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan.[8]
Sekolah perlu memilki wewenang untuk memngambil keputusan, sebab keputusan akan benar sesuai dengan kebutuhan dan realitas proses belajar mengajar dalam konsep MBS yang utuh, kekuasaan yang dimiliki sekolah mencakup (1) mengambil keputusan berkaitan sengan pengelolaan kurikulum; (2) keputusan berkaitan dengan rekruitmen dan pengelolaan guru dan pegawai administrasi, (3) keputusan berkaitan dengan pengelolaan sekolah. Dalam implementasi MBS terdapat empat factor yang penting untuk dicatat: (1) kekuasaan; (2) pengetahuan dan skill; (3) system informasi; (4) system penghargaan. Wewenang untuk mengambil keputusan ini merupakan penjelas bahwa sekolah pada semua jenjang dan jenis memerlukan otonomi professional untuk memperbesar ruang pemberdayaan sekolah dalam system administrasi pendidikan.[9]
2.      Administrasi Sekolah Dalam Lingkungan Fisik Sosio Emosional
Pada umumnya pada suatu masyarakat, karakteristik sekolah sebagai masyarakat mini (mini society) direpresentasikan atau dicirikan oleh watak para penghuninya, yaitu para pengelola sekolah. Dalam anatomi sekolah menurut direktorat pendidikan menengah umum (2002: 10) masyarakat sekolah dapat dibedakan menjadi tiga level pokok sesuai fungsinya yakni: (1) level kelas (regulator) yang merupakan representasi dari karakter pembelajaran di kelas, yang banyak dipengaruhi oleh aturan main, atau regulasi yang dianut oleh guru. Termasuk dalam level ini, mislanya suasana psikologis kelas yang nyaman, pembelajaran yang menarik, motivasi siswa yang tinggi, dan sebagainya; (2) level mediator (profesi) yang merupakan representasi dari karkater-karakter professional pada pengelola sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, konselor, dan tenaga teknis/administratif sekolah. Termasuk dalam level ini dadalah karakter kepemimpinan kepala sekolah dan sifat-sifat secara dedikasi, motivasi, kompetensi, kreativitas, dan kolaborasi dari setiap individu pengelolaan sekolah; dan (3) level sekolah (manajemen) yaang merupakan representasi dari karakter kolektif warga sekolah seara keseluruhan, atau iklim sekolah.[10]
Pembelajaran efektif juga akan melatih dan menanamkan sikap demokratis pada siswa. Pembelajaran efektif akan memberikan kecakapan hidup bagi siswa sebagai modal kelak hidup mandiri ditengah masyarakat. Kepemimpinan sekolah merupakan factor utama yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Revormasi diri pada level sekolah harus diawali dengan sikap positif dan komitmen yang kuat dari seluruh warga sekolah untuk memanfaatkan otonomi yang diberikan kepada sekolah.[11]
Kepala sekolah yang semula otoriter, mereformasikan dirinya menjadi kepala sekolah yang kolaboratif, sehingga menumbuhkan iklim sekolah yang demokratis yang dapat mengakomodir aspirasi seluruh warga sekolah. Guru yang masih mengajar atas dasar petunjuk dari atasan, setelah reformasi berubah menjadi guru yang berfikir merdeka, mengembangkan kreativitas, melakukan inovasi, dan sebagainya sehingga bisa memicu jiwa inquiry pada murid-muridnya. Tipe ideal sekolah adalah menunjukkan ciri professional menekankan kemampuan adaptasi terhadap kompleksitasnya dan juga menggambarkan kepuasan kerja bagi para anggotanya.[12]
a.      Pengelolaan kelas
Keberhasilan guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar tidak saja menuntut kemampuan menguasai materi pelajaran, strategi dan metode mengajar, menggunaka media atau alat pembelajaran.
Kondisi belajar mengajar yang optimal berlangsung optimal ini harus direncanakan dan diusahakan oleh guru secara sengaja agar dapat dihindarkan kondisi atau situasi yang merugikan/mengganggu (usaha pencegahan) dan mengembalikan kepada kondisi yang diharapkan (optimal) bilamana terjadi hal-hal yang merusak atau mengganggu suasana pembelajaran disebabkan oleh tingkah laku siswa yang menyimpang didalam kelas (usaha kuratif). Usaha guru dalam menciptakan kondisi belajar yang optimal dikenal dengn istilah pengelolaan kelas.
Menurut Hasubuan dan Moerdiono (1986:82): pengaturan berkaitan dengan penyediaan kondisi belajar mengajar adalah pegelolaan kelas sedangkan menurut Raka Joni (1984: 3) pengelolaan kelas menunjukkan kepada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar mengajar. Pengelolaan kelas yang menunjukkan kepada pengaturan orang yaitu terutama adalah siswa sebagai peserta didik maupun pengaturan fasilitas. Fasilitas disini mencakup pengertian yang luas mulai dari ventilasi udara, penerangan, kebersihan ruang kelas, tempat duduk, papan tulis, ruang kelas, halaman sekolah, sampai dengan perencanaan program belajar mengajar yang tepat dan pelayanan belajar. Hasibuan mengemukakan bila pengaturan kondisi pendukung belajar dapat dikerjakan secara optimal maka proses belajar berlangsug secara optimal pula. Tetapi bila tidak dapat disediakan secara optimal tentu saja menimbulkan gangguan tgerhadap belajar mengajar.
Kegiatan pengelolaan kelas merupakan suatu kegiatan yang erat hubungannya dengan pengajaran dan salah satu prasyarat untuk terciptanya proses belajar mengajar yang efektif. Keterampilan pengelolaan kelas yang seyogianya dimiliki oleh guru dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) keterampilan menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang kondisif dan optimal yang ditampakkan pada keterampilan dan kemampuan membagi perhatian pada kelompok belajar, memberi petunjuk yang jelas kepada siswa mengenai hal belajar, menegur siswa yang berperilaku menyimpang dan memberi penguatan (reinforecement); dan (2) keterampilan menciptakan mondisi belajar yang optimal, guru mampu dan tramapil merespon gangguan siswa yang berkelanjutan, respon guru tersebut dalam bentuk mengadakan tindakan untuk mengembalikan kondisi belajar optimal.
Kegiatan pengelolaan kelas bukan merupakan suatu kegiatan yang sederhana atau kegiatan rutin yang dapat dilakukan secra serampang, teetapi suatu kegiatan professional jasa pelayanan belajar terencana yang harus ditangani secara sungguh-sungguh. Mestinya guru dikelas lenbih banyak dicurahkan pada kegiatan pengajaran. Kemampuan guru menciptakan dan memelihara situasi dan kondisi kelas dalam pembelajaran yang kondusif memungkinkan proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif.
Para guru merancang dan mengatur tempat duduk, yang memungkinkan terjadinya tatap muka antar guru dengan siswa dalam pembelajaran, sehingga guru dapat sekaligus mengontrol tingkah laku siswa. Melalui pengaturan tempat duduk yang baik dan jumlah siswa yang ideal antara 20-30 orang siswa satu kelas dapat mempengaruhi kelancaran proses belajar mengajar.
Semua ini mudah dilakukan jika jumlah siswa dengan guru fasilitas kelas yang tersedia ada keseimbangan. Aspek lain yang termasuk lingkungan fisik yang mendapat perhatian dari guru-guru di sekolah yaitu mengenai pengaturan cahaya dan ventilasi.
Berkaitan dengan pengaturan barang atau alat-alat pendidikan serta fasilitas lainnya, seperti buku pelajaran (buku paket), alat peraga pendidikan, gambar-gambar yang bersifat mendidik (seperti: gambar pahlawan, tempat ibadah, bunga, pemandangan dan sebagainya), lemari tempat penyimpangan hasil pekerjaan siswa, dan perlengkapan belajar mengajar, harus ditempatkan/disimpan secara tertib dan teratur.
Pengaturan sarana dan prasarana pendidikan dikelas dalam hal ini guru bertindak sebagai pemimpin yang mengatur, bersama-sama dengan siswa mengatur barang sehingga timbul kesadaran pada diri siswa untuk menjaga dan merawat fasilitas yang ada di sekolah dengan baik. Masalah kedua yang penting dalam manajemen kelas adalah mengenai pengembangan sosio emosional yang dilakukan siswa oleh guru-guru, yang meliputi: tipe kepemimpinan sikap guru terhadap sisiwa yang tidak disiplin.[13]
b.      Tipe Kepemimpinan Guru Dikelas
Aspek-aspek tersebut dipengaruhi oleh kegiatan belajar mengajar dikelas, guru berperan sebagai seorang pemimpin, tipe kepemimpinan seseorang (guru) akan mewarani suasana organisasi/keas yang dipimpinnya. Menurut Raka Joni (1985) tipe kepemimpinan guru yang lebih berat pada otoriter akan menghasilkan sikap sisiwa yang submissive atau apatis.
Dalam pemecahan masalah kepemimpinan ini senantiasa melibatkan siswa, mengahrgai pendapat siswa, kemudian siswa diperlukan sebagai individu yang bertanggung jawab, berharga dan mampu mengatasi persoalan yang dihadapi yang bertanggung jawab.[14]

c.       Penciptaan Kondisi Sosio-Emisional Di Kelas
Kelas sebagai tempat berlangsungnya PBM diwarnai oleh berbagai perilaku siswa, ada yang positif dan ada pula yang negative. Perilaku siswa yang positif dikelas, seperti: menghargai pendapat orang lain, memberikan respon psikologis yang positif, memerhatikan guru yang sedang mangajar.
Sedangkan tingkah laku yang negative ditemukan dari hasil observasi seperti: melanggar peraturan/tata tertib, membadut, mengobrol, memperolok-olok teman, menunjukkan sikap yang sangat responsive (menjawab hal-hal yang tidak perlu), ditemukan siswa mengobrol atau menggangu, maka dengan segera guru berupaya untuk menghentikan dengan cara yang manusiawi mengingat perilaku seperti itu dapat mengganggu jalananya PBM dan menjadi kendala pencapaian tujuan pembelajaran.
Guru menggunakan berbagai pendekaan, pada saat guru ingin membina tingkah laku yang dikehendaki, yaitu tingkah laku yang positif digunakan pendekatan perubahan tingkah laku, yakni dengan cara memberikan pengutan (reinforcement) yang bersifat positif. Sedangkan untuk menghilangkan atau menghentikan tingkah laku ang tidak diinginkan digunakan peringatan, jiika tidak memadai digunakan sanksi sesuai kaidah-kaidah pendidikan. Dengan sanksi dan peringatan ini dimaksud agar murid tidak lagi mengulangi perbuatan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam melakukan pengelolaan kelas, guru juga berusaha mengembangkan suasana hangat, gembira, mengembangkan hubungan ineterpersonal yang harmonis antara guru dan siswa, juga membina hubungan yang baik antara siswa dengan siswa, guru menerima pendapat juga saran.
Kegiatan belajar di sekolah tidak saja sifatrnya individual, tetapi guru dapat mengembangkan kelompok-kelompok belajar. Dengan demikian ia mengembangkan kegiatan yang bisa mengikutsertakan semua siswa atau memungkinkan siswa terlibat dalam kerja, cara ini dikembangkan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran.
Ada siswa yang berprestasi meningkat karena pengaruh dari kelompoknya, bahkan ada siswa yang orestasinya menurun karena ia menjadi anggota kelompok yang kueang baik. Untuk itu guru di sekolah ini senantiasa mengembangkan dan memperhatikan dengan serius kelompok-kelompok belajar ini dengan cara memberi: dorongan bimbingan dan pengarahan.[15]
d.      Iklim Kelas Yang Demokratis
Iklim dapat dipandang pada satu pihak sebagai karakteristik abadi yang mencirikan suatu kelas tertentu, yang membedakanya dari kelas yang lain, dan mempengaruhi perilaku guru dan siswa. Dilain pihak, iklim kelas sebagai perasaan yang dipunyai oleh guru dan siswa terhadap siuasana belajar di kelas itu. Iklim belajar yang nyaman dan menyenangkan di kelas penting, karena iklim yang sehat membuat para guru leluasa untuk bekerja sepenuhnya dan siswa dapat menumbuhkan motif berprestasi dalam kegiatan belajar mengajar
Dengan situasi seperti ini memungkinkan siswa merasa nyaman, tenang, merasa dihargai sehingga, memungkinkan respon psikologi siswa pada saat guru mengajar bisa lebih tinggi, yang pada akhirnya proses belajar mengajar bisa berjalan lebi efektif dan lebih bermutu. Dilihat pengaruhnya tipe kepemimpinan guru yang demokratis yng membawa suasana kelas yang kondusif.
Dalam melakukan pengelolaan kelas cenderung guru menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan pengubahan tingkah laku, pendekatan proses kelompok dan pendekatan sosio emosional.
Pendekatan pengubah tingkah laku dipilih bila tujuan tindakan pengelolaan yang dilakukan adalah menguatkan tingkah laku siswa yang baik dan menghilangkan tingkah laku yang tidak baik pendekatan penciptaan iklim sosio emosional dipergunakan apabila sasaran tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru siswa dan siswa-siswa sedangkan pendekatan proses kelompok di anut bila seorang guru ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa sekolah sebagi organisasi kerja terdiri dari beberapa kelas baik berjenjang berdasarkan tingkat, maupun parallel pada kelas yang setingkat. Nawawi (1982: 115) mengemukakan bahwa sekoah sebagai toatal system atau satu kesatuan oraganisasi, sangat tergantung pada penyelenggaraan dan pengelolaan kelas, baik dilingkungan kelas masing-masing sebagai unit kerja yang berdiri sendiri, maupun dalam hubungan kerja antara kelas yang satu dengan kelas yang lain. Kelas sebagai unit kerja yang berdiri sendiri, mempunyai masyarakat sendiri, dan juga mempunyai iklim demokratis tersendiri pula, karena itu kelas merupakan unit kerja yang otonom.[16]










BAB III
KESIMPULAN
Birokrasi adalah kekuasaan. Pengaruh dan para kepala dan staf biro pemerintahan, sejalan dengan itu ditegaskan Albrow (1989) birokrasi ialah suatu badan administrative tentang pejabat yang diangkat sesuai prosedur administrasi, aspek institusional dan asosiasonal yang mampu membedakan hal-hal spele tetapi penting karena akan menjadi dasar analisis pemikiran sosiologis untuk melakukan tindakan dan analisis kebijaksanaan.
Reformasi sekolah atau school reform merupakan suatu konsep perubahan kearah peningkatan mutu dalam konteks manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Sekolah menurut direktorat pendidikan menengah umum (2002:1) adalah sebuah masyarakat kecil (mini society) yang menjadi wahana pengembangan siswa, bukan sebuah birokrasi yang sarat dengan beban-beban administrasi. Aktivitas di dalamnya adalah proses pelayanan jasa, bukan proses produksi barang. Murid adalah pelanggan (client) yang datang ke sekolah untuk mendapatkan pelayanan, bukan bahan mentah (raw input) yang akan dicetak menjadi barang setengah jadi atau barang beli.



[1] Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Mizan, h. 61

[2] Syaiful Sagala, Ibid, h. 65 
[3] Syaiful Sagala, Ibid, h. 65
[4] Syaiful Sagala, Ibid, h. 68
[5] Syaiful Sagala, Ibid, h. 77-78
[6] Syaiful Sagala, Ibid, h. 78
[7] Syaiful Sagala, Ibid, h.79
[8] Syaiful Sagala, Ibid, h. 79
[9] Syaiful Sagala, Ibid, h. 79-80
[10] Syaiful Sagala, Ibid, h. 80-81
[11] Syaiful Sagala, Ibid, h. 82
[12] Syaiful Sagala, Ibid, h. 83
[13] Syaiful Sagala, Ibid, h. 83-87
[14] Syaiful Sagala, Ibid, h. 87
[15] Syaiful Sagala, Ibid, h. 88-90
[16] Syaiful Sagala, Ibid, h. 91-93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar