BAB I
PENDAHULUAN
Birokrasi
adalah kekuasaan. Pengaruh dan para kepala dan staf biro pemerintahan, sejalan
dengan itu ditegaskan Albrow (1989) birokrasi ialah suatu badan administrative
tentang pejabat yang diangkat sesuai prosedur administrasi, aspek institusional
dan asosiasonal yang mampu membedakan hal-hal spele tetapi penting karena akan
menjadi dasar analisis pemikiran sosiologis untuk melakukan tindakan dan
analisis kebijaksanaan.
Dan
lebih lengkapnya akan dibahas lebih lanjut dalam bab II nanti, mengenai birokrasi
dalam administrasi pendidikan dan administrasi sekolah dlam sistem administrasi
pendidikan
.
.
BAB II
PEMBAHASAN
BIROKRASI DALAM ADMINISTRASI
PENDIDIKAN DAN ADMINISTRASI SEKOLAH DLAM SISTEM ADMINISTRASI PENDIDIKAN
A.
BIROKRASI
DALAM ADMINISTRASI PENDIDIKAN
1.
Elemen-Elemen
Birokrasi Dan Kecenderungannya Di Sekolah
Birokrasi adalah kekuasaan. Pengaruh dan
para kepala dan staf biro pemerintahan, sejalan dengan itu ditegaskan Albrow (1989)
birokrasi ialah suatu badan administrative tentang pejabat yang diangkat sesuai
prosedur administrasi, aspek institusional dan asosiasonal yang mampu
membedakan hal-hal spele tetapi penting karena akan menjadi dasar analisis
pemikiran sosiologis untuk melakukan tindakan dan analisis kebijaksanaan. Birokrasi
menurut Weber (1947) dicirikan oleh (1) divisi pekerjaan dan alokasi tanggung
jawab spesifik, (2) adanya level hierarkhi otoritas, (3) adanya kebijakan,
peraturan, dan regulasi tertulis; (4) impersonal yaitu birokrasi ada pada
lingkungan yang universal atau berlaku pada organisasi apapun, dan (5)
pengembangan dan perpanjangan karier administrasi pendidikan baik dalam system
pemerintahan maupun dalam system persekolahan.[1]
Esensi birokrasi menurut Sagala (2003:257)
adalah pekerjaan menjalakan pemerintahan oleh orang-orang yang memerintahkan
secara professional. Analisis mengenai birokrasi pendidikan bertitik tolak pada
pembahsan konsep struktur organisasi tata kerja (STOK) khususnya pada
biroksrasi Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota, partisipasi aparat
pemerintah dalam menejemen pendidikan, dan alternative model-model struktur
organisasi pelayanan pendidikan. Dinas Pendidikan mewadahi tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) nya mengacu pada UU no. 22 tahun 19999 pasal 4 ayat 2 sebagai
konsep yang mendasi SOTK Dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota menekan
pada demokratisasi perluasan kesempatan belajar.[2]
Sasaran pendidikannya adalah
meningkatkan kualitas lulusan melalui system pembelajaran yag lebih sempurna
untuk menguasai IPTEK birokrasi memberikan keuntungan yaitu menciptakan
keteraturan dan efisiensi bagi satuan pendidikan, dan kerugian yaitu kekakuan
dan struktur organisasi yang impersonal, juga cenderung terlalu memandang
organisasi semata-mata dalam struktur dalam struktur yang rasional. Kekuasaan
dan wewenang merupakan produk dan monopoli birokrasi ataas segala kehidupan
telah menciptakan kecenderungan internal brokratik ke arah cara kerja yang
terlalu kaku dan sering kali menciptakan pelaksaan organisasi tidak efektif
subtansi birokrasi kedinasan antara Dinas Pendidikan Provinsi dengan Kabupaten/Kota
harus melalui kepala daerah, namun hal-hal terknis dapat langsung kepada unit
kerja yang dimaksud.[3]
2.
Hubungan
Antara Manusia Dalam Administrasi Pendidikan
Pada dasarnya Administrasi pendidikan
memiliki kepentingan tertentu terhadap manusia. Manusia adalah makhluk psiko-fisik
yang berkembang kearah kematangan secara integral dalam keseluruhan
organ-organnya. Secara simultan. Fungsi-fungsi psikis dan fisiknya berkembang
dalam suatu pola keseimbangan yang bersifat “homeostatis” yaitu terwujudnya kondisi kehidupan dalam diri manusia
yang tetap berada dalam keselarasan dan keselarasan gerak dan fungsi-fungsi
organ-organ psikis dan fisiknya. Factor manusia (humon factor) yang berhubungan dengan sumber daya manusia (SDM)
mengandung makna mendalam atas semua potensinya, sehingga manusia tumbuh dan
berkembang untuk mengatasi permasalahan manusia itu sendiri.
Salah satu permasalahn manusia adalah
kualitas, yaitu kualitas manusia tampak pada kemampuannya secara fungsional
untuk mendorong pertumbuhannya yang memilki nilai tambah. Oleh karena itu,
membangun SDM adalah upaya-upaya untuk mengelola, mengurus, dan meningkatkan
kualitasnya. Secara factual manusia itu oleh tuhan yang maha esa diberi tulang,
dan tulang itu dibalut oleh daging, diberi mata, hidung, telinga, mulut, dan
kelengkapan organ tubuh lainnya hingga sempurna.[4]
B.
ADMINISTRASI
SEKOLAH DALAM SISTEM ADMINISTRASI PENDIDIKAN
1.
Manajemen
Berbasis Sekolah
Reformasi sekolah atau school reform merupakan suatu konsep
perubahan kearah peningkatan mutu dalam konteks manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah. Sekolah menurut direktorat pendidikan menengah umum (2002:1)
adalah sebuah masyarakat kecil (mini
society) yang menjadi wahana pengembangan siswa, bukan sebuah birokrasi
yang sarat dengan beban-beban administrasi. Aktivitas di dalamnya adalah proses
pelayanan jasa, bukan proses produksi barang. Murid adalah pelanggan (client) yang datang ke sekolah untuk
mendapatkan pelayanan, bukan bahan mentah (raw
input) yang akan dicetak menjadi barang setengah jadi atau barang jedi.[5]
Kepala sekolah, guru, konselor, dan
tenaga kependidikan lain adalah tenaga professional yang terus menerus
berinovasi untuk kemajuan sekolah, bukan birokrat yang sekedar patuh menjalankan
petunjuk atasan mereka. Konsep sekolah sebagaimana dikemukakan di atas mengacu
kepada konsep sekolah efektif, yaitu sekolah yang memilki profil yang kuat
mandiri, inovatif dan memberikan iklim yang kondusif bagi warganya untuk
mengembangkan sikap kritis, kreativitas, dan motivasi. Sekolah yang demikian
memilki kerangka akuntabilitas yang kuat kepada siswa dan warganya memalui
pemberian pelayanan yang bermutu, dan bukan semata-mata akuntabilitas
pemerintahan melalui kepatuhannya menjalankan petunjuk.[6]
Konsep manajemen berbasisi sekolah (MBS) dalam bahasa Inggris disebut “school based management” merupakan
strategi yang jitu untuk mencapai manajemen yang efektif dan efesien.
Penataan sekolah melalui konsep MBS yang
diartikan sebagai wujud dari informasi pendidikan, di arahkan untuk meredesain
dan memodifikasi struktur pemerintah ke sekolah dengan konsep pemberdayaan
sekolah. Focus pemberadayaan tersebut dimaksud untuk meningkatksn otonomi dan
profesionalisme sekolah dalam bidang kependidikan yang pada gilirannya menjadi
kualitas pendidikan.[7]
Model MBS ini adalah suatu ide dimana
kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan
pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar, yakni sekolah
sendiri. Konsep ini didasari pada “self
determination theory” yang menyatakan bahwa apabila seseorang atau kelompok
tersebut akan memilki tanggung jawab yang besar untuk melaksanakan apa yang
telah diputuskan tersebut. Dalam pelaksanaan MBS tersirat adanya tugas sekolah
untuk meninggkatkan mutu pendidikan menggunakan strategi yang lebih
memberdayakan semua potensi sekolah secara optimal. Strategi pelaksanaannya
menggunakan prinsip-prinsip menajemen dan perancang strategic, sehingga setiap
sekolah akan kompetitif dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan.[8]
Sekolah perlu memilki wewenang untuk
memngambil keputusan, sebab keputusan akan benar sesuai dengan kebutuhan dan
realitas proses belajar mengajar dalam konsep MBS yang utuh, kekuasaan yang
dimiliki sekolah mencakup (1) mengambil keputusan berkaitan sengan pengelolaan
kurikulum; (2) keputusan berkaitan dengan rekruitmen dan pengelolaan guru dan
pegawai administrasi, (3) keputusan berkaitan dengan pengelolaan sekolah. Dalam
implementasi MBS terdapat empat factor yang penting untuk dicatat: (1)
kekuasaan; (2) pengetahuan dan skill; (3) system informasi; (4) system
penghargaan. Wewenang untuk mengambil keputusan ini merupakan penjelas bahwa
sekolah pada semua jenjang dan jenis memerlukan otonomi professional untuk
memperbesar ruang pemberdayaan sekolah dalam system administrasi pendidikan.[9]
2.
Administrasi
Sekolah Dalam Lingkungan Fisik Sosio Emosional
Pada umumnya pada suatu masyarakat,
karakteristik sekolah sebagai masyarakat mini (mini society) direpresentasikan atau dicirikan oleh watak para
penghuninya, yaitu para pengelola sekolah. Dalam anatomi sekolah menurut
direktorat pendidikan menengah umum (2002: 10) masyarakat sekolah dapat
dibedakan menjadi tiga level pokok sesuai fungsinya yakni: (1) level kelas
(regulator) yang merupakan representasi dari karakter pembelajaran di kelas,
yang banyak dipengaruhi oleh aturan main, atau regulasi yang dianut oleh guru.
Termasuk dalam level ini, mislanya suasana psikologis kelas yang nyaman,
pembelajaran yang menarik, motivasi siswa yang tinggi, dan sebagainya; (2)
level mediator (profesi) yang merupakan representasi dari karkater-karakter
professional pada pengelola sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, konselor, dan
tenaga teknis/administratif sekolah. Termasuk dalam level ini dadalah karakter
kepemimpinan kepala sekolah dan sifat-sifat secara dedikasi, motivasi,
kompetensi, kreativitas, dan kolaborasi dari setiap individu pengelolaan
sekolah; dan (3) level sekolah (manajemen) yaang merupakan representasi dari
karakter kolektif warga sekolah seara keseluruhan, atau iklim sekolah.[10]
Pembelajaran efektif juga akan melatih
dan menanamkan sikap demokratis pada siswa. Pembelajaran efektif akan memberikan
kecakapan hidup bagi siswa sebagai modal kelak hidup mandiri ditengah
masyarakat. Kepemimpinan sekolah merupakan factor utama yang dapat mendorong
sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah melalui
program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Revormasi diri
pada level sekolah harus diawali dengan sikap positif dan komitmen yang kuat
dari seluruh warga sekolah untuk memanfaatkan otonomi yang diberikan kepada
sekolah.[11]
Kepala sekolah yang semula otoriter,
mereformasikan dirinya menjadi kepala sekolah yang kolaboratif, sehingga
menumbuhkan iklim sekolah yang demokratis yang dapat mengakomodir aspirasi
seluruh warga sekolah. Guru yang masih mengajar atas dasar petunjuk dari
atasan, setelah reformasi berubah menjadi guru yang berfikir merdeka, mengembangkan
kreativitas, melakukan inovasi, dan sebagainya sehingga bisa memicu jiwa
inquiry pada murid-muridnya. Tipe ideal sekolah adalah menunjukkan ciri
professional menekankan kemampuan adaptasi terhadap kompleksitasnya dan juga
menggambarkan kepuasan kerja bagi para anggotanya.[12]
a.
Pengelolaan
kelas
Keberhasilan guru melaksanakan kegiatan
belajar mengajar tidak saja menuntut kemampuan menguasai materi pelajaran,
strategi dan metode mengajar, menggunaka media atau alat pembelajaran.
Kondisi belajar mengajar yang optimal
berlangsung optimal ini harus direncanakan dan diusahakan oleh guru secara
sengaja agar dapat dihindarkan kondisi atau situasi yang merugikan/mengganggu (usaha pencegahan) dan mengembalikan
kepada kondisi yang diharapkan (optimal)
bilamana terjadi hal-hal yang merusak atau mengganggu suasana pembelajaran
disebabkan oleh tingkah laku siswa yang menyimpang didalam kelas (usaha kuratif). Usaha guru dalam
menciptakan kondisi belajar yang optimal dikenal dengn istilah pengelolaan
kelas.
Menurut Hasubuan dan Moerdiono (1986:82):
pengaturan berkaitan dengan penyediaan kondisi belajar mengajar adalah
pegelolaan kelas sedangkan menurut Raka Joni (1984: 3) pengelolaan kelas
menunjukkan kepada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan kondisi
yang optimal bagi terjadinya proses belajar mengajar. Pengelolaan kelas yang
menunjukkan kepada pengaturan orang yaitu terutama adalah siswa sebagai peserta
didik maupun pengaturan fasilitas. Fasilitas disini mencakup pengertian yang
luas mulai dari ventilasi udara, penerangan, kebersihan ruang kelas, tempat
duduk, papan tulis, ruang kelas, halaman sekolah, sampai dengan perencanaan
program belajar mengajar yang tepat dan pelayanan belajar. Hasibuan
mengemukakan bila pengaturan kondisi pendukung belajar dapat dikerjakan secara
optimal maka proses belajar berlangsug secara optimal pula. Tetapi bila tidak
dapat disediakan secara optimal tentu saja menimbulkan gangguan tgerhadap
belajar mengajar.
Kegiatan pengelolaan kelas merupakan
suatu kegiatan yang erat hubungannya dengan pengajaran dan salah satu prasyarat
untuk terciptanya proses belajar mengajar yang efektif. Keterampilan
pengelolaan kelas yang seyogianya dimiliki oleh guru dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu: (1) keterampilan menciptakan dan memelihara kondisi belajar
yang kondisif dan optimal yang ditampakkan pada keterampilan dan kemampuan
membagi perhatian pada kelompok belajar, memberi petunjuk yang jelas kepada
siswa mengenai hal belajar, menegur siswa yang berperilaku menyimpang dan memberi
penguatan (reinforecement); dan (2)
keterampilan menciptakan mondisi belajar yang optimal, guru mampu dan tramapil
merespon gangguan siswa yang berkelanjutan, respon guru tersebut dalam bentuk
mengadakan tindakan untuk mengembalikan kondisi belajar optimal.
Kegiatan pengelolaan kelas bukan
merupakan suatu kegiatan yang sederhana atau kegiatan rutin yang dapat
dilakukan secra serampang, teetapi suatu kegiatan professional jasa pelayanan
belajar terencana yang harus ditangani secara sungguh-sungguh. Mestinya guru
dikelas lenbih banyak dicurahkan pada kegiatan pengajaran. Kemampuan guru
menciptakan dan memelihara situasi dan kondisi kelas dalam pembelajaran yang
kondusif memungkinkan proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif.
Para guru merancang dan mengatur tempat
duduk, yang memungkinkan terjadinya tatap muka antar guru dengan siswa dalam
pembelajaran, sehingga guru dapat sekaligus mengontrol tingkah laku siswa.
Melalui pengaturan tempat duduk yang baik dan jumlah siswa yang ideal antara
20-30 orang siswa satu kelas dapat mempengaruhi kelancaran proses belajar
mengajar.
Semua ini mudah dilakukan jika jumlah
siswa dengan guru fasilitas kelas yang tersedia ada keseimbangan. Aspek lain
yang termasuk lingkungan fisik yang mendapat perhatian dari guru-guru di
sekolah yaitu mengenai pengaturan cahaya dan ventilasi.
Berkaitan dengan pengaturan barang atau
alat-alat pendidikan serta fasilitas lainnya, seperti buku pelajaran (buku paket), alat peraga pendidikan, gambar-gambar
yang bersifat mendidik (seperti: gambar pahlawan, tempat ibadah, bunga,
pemandangan dan sebagainya), lemari tempat penyimpangan hasil pekerjaan siswa,
dan perlengkapan belajar mengajar, harus ditempatkan/disimpan secara tertib dan
teratur.
Pengaturan sarana dan prasarana pendidikan
dikelas dalam hal ini guru bertindak sebagai pemimpin yang mengatur,
bersama-sama dengan siswa mengatur barang sehingga timbul kesadaran pada diri
siswa untuk menjaga dan merawat fasilitas yang ada di sekolah dengan baik.
Masalah kedua yang penting dalam manajemen kelas adalah mengenai pengembangan
sosio emosional yang dilakukan siswa oleh guru-guru, yang meliputi: tipe kepemimpinan
sikap guru terhadap sisiwa yang tidak disiplin.[13]
b.
Tipe
Kepemimpinan Guru Dikelas
Aspek-aspek tersebut dipengaruhi oleh
kegiatan belajar mengajar dikelas, guru berperan sebagai seorang pemimpin, tipe
kepemimpinan seseorang (guru) akan mewarani suasana organisasi/keas yang
dipimpinnya. Menurut Raka Joni (1985) tipe kepemimpinan guru yang lebih berat
pada otoriter akan menghasilkan sikap sisiwa yang submissive atau apatis.
Dalam pemecahan masalah kepemimpinan ini
senantiasa melibatkan siswa, mengahrgai pendapat siswa, kemudian siswa
diperlukan sebagai individu yang bertanggung jawab, berharga dan mampu mengatasi
persoalan yang dihadapi yang bertanggung jawab.[14]
c.
Penciptaan
Kondisi Sosio-Emisional Di Kelas
Kelas sebagai tempat berlangsungnya PBM
diwarnai oleh berbagai perilaku siswa, ada yang positif dan ada pula yang
negative. Perilaku siswa yang positif dikelas, seperti: menghargai pendapat
orang lain, memberikan respon psikologis yang positif, memerhatikan guru yang
sedang mangajar.
Sedangkan tingkah laku yang negative
ditemukan dari hasil observasi seperti: melanggar peraturan/tata tertib,
membadut, mengobrol, memperolok-olok teman, menunjukkan sikap yang sangat
responsive (menjawab hal-hal yang tidak perlu), ditemukan siswa mengobrol atau menggangu,
maka dengan segera guru berupaya untuk menghentikan dengan cara yang manusiawi
mengingat perilaku seperti itu dapat mengganggu jalananya PBM dan menjadi
kendala pencapaian tujuan pembelajaran.
Guru menggunakan berbagai pendekaan,
pada saat guru ingin membina tingkah laku yang dikehendaki, yaitu tingkah laku
yang positif digunakan pendekatan perubahan tingkah laku, yakni dengan cara
memberikan pengutan (reinforcement)
yang bersifat positif. Sedangkan untuk menghilangkan atau menghentikan tingkah
laku ang tidak diinginkan digunakan peringatan, jiika tidak memadai digunakan
sanksi sesuai kaidah-kaidah pendidikan. Dengan sanksi dan peringatan ini
dimaksud agar murid tidak lagi mengulangi perbuatan yang tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
Dalam melakukan pengelolaan kelas, guru
juga berusaha mengembangkan suasana hangat, gembira, mengembangkan hubungan
ineterpersonal yang harmonis antara guru dan siswa, juga membina hubungan yang
baik antara siswa dengan siswa, guru menerima pendapat juga saran.
Kegiatan belajar di sekolah tidak saja
sifatrnya individual, tetapi guru dapat mengembangkan kelompok-kelompok
belajar. Dengan demikian ia mengembangkan kegiatan yang bisa mengikutsertakan
semua siswa atau memungkinkan siswa terlibat dalam kerja, cara ini dikembangkan
oleh guru dalam kegiatan pembelajaran.
Ada siswa yang berprestasi meningkat
karena pengaruh dari kelompoknya, bahkan ada siswa yang orestasinya menurun
karena ia menjadi anggota kelompok yang kueang baik. Untuk itu guru di sekolah
ini senantiasa mengembangkan dan memperhatikan dengan serius kelompok-kelompok
belajar ini dengan cara memberi: dorongan bimbingan dan pengarahan.[15]
d.
Iklim
Kelas Yang Demokratis
Iklim dapat dipandang pada satu pihak
sebagai karakteristik abadi yang mencirikan suatu kelas tertentu, yang
membedakanya dari kelas yang lain, dan mempengaruhi perilaku guru dan siswa.
Dilain pihak, iklim kelas sebagai perasaan yang dipunyai oleh guru dan siswa
terhadap siuasana belajar di kelas itu. Iklim belajar yang nyaman dan menyenangkan
di kelas penting, karena iklim yang sehat membuat para guru leluasa untuk
bekerja sepenuhnya dan siswa dapat menumbuhkan motif berprestasi dalam kegiatan
belajar mengajar
Dengan situasi seperti ini memungkinkan
siswa merasa nyaman, tenang, merasa dihargai sehingga, memungkinkan respon
psikologi siswa pada saat guru mengajar bisa lebih tinggi, yang pada akhirnya
proses belajar mengajar bisa berjalan lebi efektif dan lebih bermutu. Dilihat
pengaruhnya tipe kepemimpinan guru yang demokratis yng membawa suasana kelas
yang kondusif.
Dalam melakukan pengelolaan kelas
cenderung guru menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan pengubahan tingkah
laku, pendekatan proses kelompok dan pendekatan sosio emosional.
Pendekatan pengubah tingkah laku dipilih
bila tujuan tindakan pengelolaan yang dilakukan adalah menguatkan tingkah laku
siswa yang baik dan menghilangkan tingkah laku yang tidak baik pendekatan
penciptaan iklim sosio emosional dipergunakan apabila sasaran tindakan
pengelolaan adalah peningkatan hubungan antar pribadi guru siswa dan
siswa-siswa sedangkan pendekatan proses kelompok di anut bila seorang guru
ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa
sekolah sebagi organisasi kerja terdiri dari beberapa kelas baik berjenjang
berdasarkan tingkat, maupun parallel pada kelas yang setingkat. Nawawi (1982:
115) mengemukakan bahwa sekoah sebagai toatal system atau satu kesatuan
oraganisasi, sangat tergantung pada penyelenggaraan dan pengelolaan kelas, baik
dilingkungan kelas masing-masing sebagai unit kerja yang berdiri sendiri,
maupun dalam hubungan kerja antara kelas yang satu dengan kelas yang lain.
Kelas sebagai unit kerja yang berdiri sendiri, mempunyai masyarakat sendiri,
dan juga mempunyai iklim demokratis tersendiri pula, karena itu kelas merupakan
unit kerja yang otonom.[16]
BAB III
KESIMPULAN
Birokrasi
adalah kekuasaan. Pengaruh dan para kepala dan staf biro pemerintahan, sejalan
dengan itu ditegaskan Albrow (1989) birokrasi ialah suatu badan administrative
tentang pejabat yang diangkat sesuai prosedur administrasi, aspek institusional
dan asosiasonal yang mampu membedakan hal-hal spele tetapi penting karena akan
menjadi dasar analisis pemikiran sosiologis untuk melakukan tindakan dan
analisis kebijaksanaan.
Reformasi
sekolah atau school reform merupakan
suatu konsep perubahan kearah peningkatan mutu dalam konteks manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah. Sekolah menurut direktorat pendidikan
menengah umum (2002:1) adalah sebuah masyarakat kecil (mini society) yang menjadi wahana pengembangan siswa, bukan sebuah
birokrasi yang sarat dengan beban-beban administrasi. Aktivitas di dalamnya
adalah proses pelayanan jasa, bukan proses produksi barang. Murid adalah
pelanggan (client) yang datang ke sekolah
untuk mendapatkan pelayanan, bukan bahan mentah (raw input) yang akan dicetak menjadi barang setengah jadi atau
barang beli.
[1]
Syaiful Sagala, Administrasi Pendidikan
Kontemporer, Bandung: Mizan, h. 61
[2]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 65
[3]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 65
[4]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 68
[5]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 77-78
[6]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 78
[7]
Syaiful Sagala, Ibid, h.79
[8]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 79
[9]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 79-80
[10]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 80-81
[11]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 82
[12]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 83
[13]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 83-87
[14]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 87
[15]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 88-90
[16]
Syaiful Sagala, Ibid, h. 91-93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar