Kamis, 04 April 2013

agama dan kehidupannya

BAB I
PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk hidup yang sangat istimewa, karena manusia berbeda dengan makhluk yang lainnya. Manusia diberi akal dan pikiran untuk bertindak sesuai dengan etika dan nilai-nilai moral yang berlaku sesuai dengan kehendaknya, lingkungan, dan ajaran agama yang di anutnya. Nilai-nilai dan norma-norma yang memberikan arah dan makna bagi manusia dalam bertindak ialah agama.

Seorang sosiolog agama bernama Elizabeth K. Nottingham berpendapat bahwa agama bukan sesuatu yang dapat dipahami melalui definisi melainkan melalui deskripsi (penggambaran). Tak ada satu pun definisi tentang agama yang benar -benar memuaskan.

Menurut gambara Elizabeth K. Nottingham, agama adalah gejala yang begitu sering “terdapat dimana-mana”, dan agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian tertuju keada adanya suatu dunia yang tak dapat dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia (Elizabeth K. Nottingham, 1985: 3-4).

Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat Adikordrati (Supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang per orang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian secara psikologis, agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif ekstrinsik (luar diri). Agama memang unik, sehingga sulit didefinisikan secara tepat dan memuaskan.

 

BAB II
PEMBAHASAN

A.        Pengertian Agama Secara Umum
Beberapa acuan yang berkaitan dengan kata  “Agama” pada umumnya; berdasarkan Sansekerta yang menunjukkan adanya keyakinan manusia berdasarkan Wahyu Illahi dari kata A-GAM-A, awalan A berarti “tidak” dan GAM berarti “pergi atau berjalan, sedangkan akhiran A bersifat menguatkan yang kekal, dengan demikian “agama: berarti pedoman hidup yang kekal”.
Agama Sanskerta, a = tidak; gama = kacau artinya tidak kacau; atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Religio dari religere, Latin artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.
Dari sudut sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu kekuatan tertentu [yang supra natural] dan berfungsi agar dirinya dan masyarakat keselamatan. Agama merupakan suatu sistem sosial yang dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia [pendiri atau pengajar utama agama] untuk berbhakti dan menyembah Ilahi. Sistem sosial tersebut dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Ilahi agar manusia mentaatinya.
1.      Agama ialah sikon manusia yang percaya adanya tuhan, dewa, Ilahi, dan manusia yang percaya tersebut, menyembah serta berbhakti kepada-Nya, serta melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
2.      Agama adalah cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia terhadap sesuatu Yang Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan serta alam semesta; cara-cara tersebut bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan kehidupan masyarakat yang menganutnya atau penganutnya.
3.      Agama ialah percaya adanya tuhan Yang Maha Esa dan hukum-hukum-Nya. Hukum-hukum tuhan tersebut diwahyukan kepada manusia melalui utusan-utusan-Nya; utusan-utusan itu adalah orang-orang yang dipilih secara khusus oleh tuhan sebagai pembawa agama. Agama dan semua peraturan serta hukum-hukum keagamaan diturunkan tuhan kepada manusia untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Jadi, secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan kehidupan kepada manusia; upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus secara pribadi dan bersama yang ditujukan kepada Ilahi.[1]

B.        Fungsi Agama Dalam Kehidupan Individu
1.      Agama Sebagai Sumber Nilai dalam Menjaga Kesusilaan
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai sesuatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum, normr-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.[2]
Menurut Mc. Guire, diri manusia memiliki bentuk sistem nilai tertentu. Sistem nilai ini merupakan sesuatu yang dianggap bermakna bagi dirinya. Sistem nilai ini dibentuk melalui belajar dan proses sosialisasi. Perangkat sistem nilai ini dipengaruhi oleh keluarga, teman, institusi, pendidikan, dan masyarakat (Meredith B. Mc. Guire, 1981: 24).[3]
Selanjutnya, tulisan Mc. Guire, berdasarkan perangkat informasi yang diperoleh seorang dari hasil belajar dan sosialisasi tadi meresap dalam dirinya. Sejak itu perangkat nilai itu menjadi sistem yang menyatu dalam membentuk identitas seseorang. Ciri khas ini terlihat dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana sikap, penampilan maupun untuk tujuan apa yang turut berpartisipasi dalam suatu kegiatan tertentu. Menurut pandangan Mc. Guire, dalam membentuk sistem nilai dalam diri individu adalah agama.[4]
Menurut Mc. Guire system nilai yang berdasarkan agama dapat memberi pedoman bagi individu dan masyarakat. Sistem nilai tersebut dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam kehidupan individu dan masyarakat.[5]
Elizabeth K. Nottingham, mengatakan bahwa setiap individu tumbuh menjadi dewasa memerlukan suatu system nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktivitas dalam masyarakat yang berfungsi sebagai tujuan akhir pengembagan kepribadianya. Dengan mempedomani system nilai maka kesusilaan akan terjaga namun nilai tersebut tidak akan berfungsi tanpa melalui pendidikan.[6] Dalam pendidikan Islam ada tiga bentuk proses pedidikan yaitu:
a.       Transfer of knowledge; ilmu pengetahuan agama dimiliki pendidik dipindahkan ( transfer ) kepada peserta didik.
b.      Transformation of knowledge; ilmu pengetahuan agama yang diberikan oleh pendidik dikembangkan (  Transformation ) oleh peserta didik, dan
c.       Internalisation of values, nilai-nilai yang terkandung/terdapat pada pengetahuan agama ditanamkan (internalitation) oleh pendidik kepada peserta didik. St. Hafi Anshori mengatakan bahwa manusia memang membutuhkan suatu stuasi yang menjaga atau menjamin berlangsungnya ketertiban dalam kehidupan moral dan social, dan agama dapat berfungsi sebagai institusi semacam itu. Motivasi keagamaan yang mereka lahirkan lewat tingkah laku keagamaannya kesusilaan dan tata tertib dalam masyarakat.
2.      Agama Sebagai Sarana untuk Mengatasi Frustasi
Manusia mempunyai kebutuhan dalam kehidupan ini, mulai dari Kebutuhan fisik seperti makanan, pakaian, istirahat, dan seksual, sampai kebutuhan psikis, seperti keamanan,, ketentraman, per-sahabatan, penghargaan, dan kasih sayang. Menurut Sarlito Wiraman Sarwono, apabila kebutuhannya itu tidak terpenuhi, terjadi ketidak-seimbangan, yakni antara kebutuhan dan pemenuhan, maka akan menumbuhkan kekecewaan yang tidak menyenangkan, kondisi atau keadaan inilah yang disebut frustasi.
Menurut pengamatan psikolog bahwa keadaan frustasi itu dapat menimbulkan tingkah laku kagamaan. Orang yang mengalami frustasi tidak jarang bertingkah laku religius atau keagamaan, untuk mengatasi frustasinya. Kebutuhan-kebutuhan manusia pada hakikatnya diarahkan kepada kebutuhan duniawi, seperti kebutuhan fisik ( pangan, sandang, papan, seks, dan sebagainya ) kebutuhan psikis ( kehormatan, penghargaan, perlindungan dan sebagainya ). Untuk itu ia melakukan pendekatan kepada Tuhan melalui ibadah-hal tersebut yang melahirkan tingkah laku keagamaan.
3.      Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan
Ketakutan yang dimaksud dalam kaitannya dengan agama sebagai sarana untuk mengatasinya, adalah ketakutan yang tidak ada obyeknya. Untuk mengatasi ketakutan sepert diatas,  psikologi sebagai ilmu empiris, terbentur masalah kesulitan. Soalnya bentuk ketakutan tanpa obyek hampir tidak bisa diteliti secara positif-empiris, karena ketakutan tersebut biasanya tersembunyi dalam gejala-gejala lain yang merupakan manifestasi terselubung dari ketakutan, misalnya dalam bentuk gejala malu, rasa bersalah, takut kecelakaan, rasa bingung, dan takut mati. Timbulnya motivasi agama salah satunya karena adanya rasa takut. Lihatlah misalnya disaat terjadi musibah gempa bumi, tsunami, dan sebagainya orang berduyun-duyun pergi ke rumah ibadah minta pertolongan dan perlindungan kepada Yang Mahakuasa.

4.      Agama sebagai sarana untuk memuaskan keingintahuan
Agama mampunmemberi jawaban atas kesukaran intelektual kognitif, sejauh kesukaran itu diresapi oleh keinginan eksistensial dan psikologis, yaitu oleh keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, agar dapat menempatkan diri secara berarti dan bermakna di tengah – tengah alam semesta ini. Tanpa agama, manusia tidak mampu menjawab pertanyaan yang sangat mendasar dalam kehidupannya, yaitu dari mana manusia datang, apa tujuan manusia hidup, dan mengapa manusia ada, dan kemana manusia kembalinya setelah mati.
Dipandang dari segi psikologis dapat dikatakan bahwa agama memberi sumbangan istimewa kepada manusia dengan mengarahkannya kepada Tuhan. Dengan demikian, agama dapat menjadikan manusai merasa aman dalam hidupnya. Kesadaran akan keadaan itu jelas melahirkan adanya tingkah laku keagamaan.
5.      Agama sebagai pembentuk kata hati (conscienci)
Kata hati menurut Erich Fromm adalah panggilan kembali manusia kepada dirinya (Erich Fromm, 1988: 110).  Shaftesbury mengasumsikan kata hati sebagai suatu rasa moral di dalam diri manusia berupa rasa benar dan salah, suatu reaksi emosional yang didasarkan atas fakta bahwa pikiran manusia pada dirinya sendiri dalam mengatur keharmonisan dirinya dengan tatanan kosmik (Erich Fromm: 11). Boeh dikatakan, filsafat skolastik (agama) lebih tegas mengatakan kata hati sebgai kesadaran akan prinsip-prinsip moral (Erich Fromm: 111).
Erich Fromm membagi kata hati menjadi menjadi dua, diantaranya:
a.       Kata hati otoritarian; dibentuk oleh pengaruh luar
b.      Kata hati humanistik; bersumber dari dalam diri sendiri pada diri manusia telah ada sejumlah potensi untuk memberi arah dalam kehidupan manusia. Potensi tersebut adalah: hidayat al-Ghariziyyat (naluriah), hidayat al-Hissiyyat (inderawi), hidayat al-Aqliyat (nalar), dan hidayat al-Diniyyat (agama). Melalui pendekatan ini, maka agama sudah menjadi potensi fitrah yang dibawa sejak lahir. Pengaruh lingkungan terhadap seseorang adalah memberi bimbingan kepada potensi yang dimilikinya itu. Dengan demikian, jika potensi fitrah itu dapat dikembangkan sejalan dengan pengaruh lingkungan maka akan terjadi keselarasan. Sebaliknya jika potensi itu dikembangkan dalam kondisi yang dipertentangkan oleh kondisi lingkungan, maka akan terjadi ketidakseimbangan pada diri seseorang. Berdasarkan pendekatan ini, maka pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas.

C.       Fungsi Agama Dalam Kehidupan Masyarakat
Masyarakat adalah gabungan dari kelompok individu yang terbentuk berdasarkan tatanan sosial tertentu. Dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dikenal tiga bentuk masyarakat, yaitu: masyarakat homogen, masyarakat majemuk, dan masyarakat heterogen.[7]
Terlepas dari penggolongan masyarakat tersebut, pada dasarnya masyarakat terbentuk dari adanya solidaritas dan konsensus. Solidaritas menjadi dasar terbentuknya organisasi dalam masyarakat, sedangkan konsensus merupakan persetujuan bersama terhadap nilai - nilai dan norma-norma yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan kelompok (Thomas E O’dea, 1985: 107).[8]
Nilai-nilai dan norma-norma yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan masyarakat ialah agama. Masalah agama tak akan mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, karena agama itu sendiri ternyata diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Dalam prakteknya fungsi agama dalam masyarakat antara lain:
1.        Berfungsi Edukatif
Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan pribadi penganutnya menjadi  baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.[9]
2.        Berfungsi Penyelamat
Keselamatan yang meliputi bidang yang luas adalah keselamatan yang diajarkan leh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada pengautnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Dalam mencapai keselamatan itu agama mengajarkan para penganutnya untuk mengenal terhadap sesuatu yang sacral yang disebut supernatural.
Berkomunikasi dengan supernatural dlaksanakan dengan berbagai cara sesuai dengan ajaran agama itu sendiri, diantaranya:
a.    Mempersatukan diri dengan Tuhan ( pantheisnae )
b.    Pembebasan dan pensucian diri ( penebusan dosa )
c.    Kelahiran kembali ( reinkarnasi )
Untuk kehadiran Tuhan bisa dalam bentuk penghayatan batin yaitu melalui meditasi sedangkan kehadiran dalam menggunakan benda – benda lambang melalui:
a.       Theophania spontanea:Kepercayaan bahwa Tuhan dapat dihadirkan dalam benda – benda tertentu, seperti tempat angker. Gunung, danau, arca, dan lainnya.
b.      Theohania Incativa:Kepercayaan bahwa Tuhan hadir dalam lambang melalui permohonan, baik melalui Invocativa magis (mantera, dukun) maupun invocative religious (permohonan, doa, kebaktian dan sebagainya).[10]

3.        Berfungsi sebagai Pendamaian
Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaia batin melalui tuntunan agama. Rasa berdosa dan bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila sesorang yang bersalah telah menebus dosanya melalui: tobat, pensucian jiwa, ataupun penebusan dosa.[11]
4.        Berfungsi sebagai social control
Dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawas baik secara individu maupun secara kelompok, karena:
a.       Secara instansi agama, merupakan norma yang harus dipatuhi oleh para pengikutnya.
b.      Secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kitis yang bersifat profetis (kenabiaan).[12]
5.        Berfungsi sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas
Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan dalam iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan menimbulkan rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahka kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Bahkan rasa persaudaraan (solidaritas) itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.[13]
6.        Berungsi Transformatif
Ajaran agama dapat merubah kehidupan sesorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai denga ajaran agama yang dianutnya.[14]
7.        Berfungsi Kreatif
Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama buka saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yag sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru dalam pekerjaan yang dilakukannya.[15]
8.        Berfungsi Sublimatif
Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia bukan saja yag bersifat ukhrawi melainkan juga bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan dengan ikhlas karena Allah merupakan ibadah.[16]

D.        AGAMA DAN PEMBANGUNAN
Prof.Dr.Mukti Ali mengemukakan bahwa peranan agama dalam pembangunan adalah sebagai berikut:
1.      Sebagai Ethos Pembangunan
Maksudnya adalah bahwa agama yang menjadi anutan seseorang atau masyarakat jika diyakini dan dihayati secara mendalam mampu memberikan suatu tatanan nilai moral dalam sikap.
Selanjutnya nilai moral tersebut akan memberikan garis-garis pedoman tingkah laku seseorang dalam bertindak, sesuai dengan ajaran agamanya. Segala bentuk perbuatan individu maupun masyarakat selalu berada dalam suatu garis yang serasi dengan peraturan dan aturan agama dan akhiratnya akan terbina suatu kebiasaan yang agamis.[17]
2.      Sebagai Motivasi
Ajaran agama yang sudah menjadi keyakinan mendalam akan mendorong seseorang atau kelompok untuk mengejar tingkat kehidupan yang lebih baik. Pengalaman ajaran agama tercermin dari pribadi yang berpartisipasi dalam peningkatan mutu kehidupan tanpa mengharapkan imbalan yang berlebihan. Keyakinan akan balasan Tuhan terhadap perbuatan baik telah mampu memberikan ganjaran batin yang akan mempengaruhi seseorang untuk berbuat tanpa imbalan material. Balasan dari Tuhan berupa pahala bagi kehidupan hari akhirat lebih didambakan oleh penganut agama yang taat.[18]
Melalui motivasi keagamaan seseorang terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun tenaga atau pemikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan aset yang potensial dalam pembangunan.
Max Weber misalnya melihat ada hubungan antara etos agama ini dengan pembangunan ekonomi. Ia melihat kemajuan ekonomi liberal Eropa dan negara Barat, didukung oleh etika dan ajaran agama protestan (Protestant Ethic). Pandangan seperti itu juga dikaitkan oleh sejumlah pengamat dengan kemajuan bangsa Jepang. Keunggulan bangsa Jepang dinilai erat kaitannya dengan nilai-nilai ajaran agama Shinto yang berintikan Bushido, yaitu ketundukan kepada pemimpin.[19]
Dengan mitos kaisar sebagai titisan dewa matahari, etos kerja masyarakat Jepang dapat diarahkan pada pembangunan bangsanya. Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di Thailand, dengan nilai ajaran Budhanya. Sedangkan masyarakat Bali terkait juga dengan etos ajaran agama Hindu Bali. Sudah sejak lama di masyarakat Bali penghormatan kepada pemuka agama tetap terjaga. Berbagai kegiatan pembangunan yang berbasis banjar umumnya terkait dengan nilai-nilai keagamaan.[20] 


BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari individu dan masyarakat, karena agama memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap kehidupan individu dan masyarakat.
Diantaranya, fungsi agama dalam kehidupan individu, ialah sebagai berikut:
1.      Agama Sebagai Sumber Nilai dalam Menjaga Kesusilaan
2.      Agama Sebagai Sarana untuk Mengatasi Prustasi
3.      Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan
4.      Agama sebagai sarana untuk memuaskan keingintahuan
5.      Agama sebagai pembentuk kata hati (conscienci)
Fungsi agama dalam kehidupan masyarakat, ialah sebagai berikut:
1.      Berfungsi Edukatif
2.      Berfungsi Penyelamat
3.      Berfungsi sebagai Pendamaian
4.      Berfungsi sebagai Social control
5.      Berfungsi sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas
6.      Berungsi Transformatif
7.      Berfungsi Kreatif
8.      Berfungsi Sublimatif
Melalui motivasi keagamaan seseorang terdorong untuk berkorban baik dalam bentuk materi maupun tenaga atau pemikiran. Pengorbanan seperti ini merupakan aset yang potensial dalam pembangunan.





[1] Ramayulis, Psikologi Agama. 2003,Jakarta: Kalam Mulia.
[2] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama,Bandung, 2008, hal. 143.
[3] Jalaluddin, Psikologi Agama,  Jakarta, 2002, hal. 238.
[4] Ibid, hal. 239.
[5] Ibid  
[6] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama,Bandung, 2008, hal. 142.
[7] Jalaluddin, Psikologi Agama,  Jakarta, 2002, hal. 242.
[8] Ibid, hal. 243.
[9] Ibid, hal. 245.
[10] Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 245   
[11] Ibid, hal. 246.
[12] Ibid
[13] Ibid, hal. 247.  
[14] Ibid  
[15] Ibid  
[16] Ibid  
[17] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama,Bandung, 2008, hal. 151.
[18] Ibid, hal. 152.
[19] Ibid  
[20]Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 249.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar